Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Jumat, 21 Januari 2011

Siapa Narsis, Dia Exist!


Pauw-Chien


Cynth-Pao-Chien





Siapa narsis, dia exist...!



Hari Yang Indah



Hari yang indah telah menantiku...




...dan akan kulakukan yang terbaik hanya untuk mewujudkannya...
Izinkan aku memiliki kebahagaiaan itu...!


[Johana_Yoe]

Cinta di Persimpangan Jalan

Kau tak tau betapa indahnya dunia saat ia menatapku untuk pertama kali. Di persimpangan dekat rumahku. Matanya yang sendu. Rambutnya yang hitam.
Seharian itu aku terus terbayang olehnya. Bagaimana jadinya kalau ia nanti menyapaku dan mengajakku berkenalan? Aku terus tersenyum sepanjang perjalananan pulang kerumah. Inilah cinta pertamaku. Cinta yang berawal dari tatapan mata di persimpangan jalan. Hihihihihi.... mungkin begini rasanya orang yang sedang jatuh cinta!
Esoknya kulewati jalan itu lagi untuk berangkat ke sekolah. Tepat ketika di persimpangan jalan, aku tersenyum melihatnya sedang duduk membisu memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang dihadapannya.
Uwaaaaa, matanya yang bersorot tajam, kaos putihnya yang terlihat lusuh, tubuhnya yang jangkung, dan aku baru sadar, kulitnya yang putih semakin menambah daya tariknya.
Setiap pagi aku melihatnya, membuatku selalu bersemangat kesekolah. Bagaimana tidak? Aku melihat cinta pertamaku menatapku sambil berharap-harap cemas kalau suatu ketika ia akan memanggilku dan mengajakku berkenalan. Betapa aku mengharapkannya saat-saat itu akan segera tiba. Aku mohon Tuhan, percepat saat-saat yang aku dambakan itu datang!
Rasa ini semakin berkembang sampai suatu ketika aku melihat keramaian dan berbagai macam bunga ditaburkan tepat dipersimpangan jalan, tempat biasa aku melihat ‘pria bermata sendu’ itu.
Baru kusadari bahwa cinta pertamaku itu tidak ada ditempat biasa aku melihatnya. Aku segera menghampiri mereka yang berkerumun. Kutanyakan untuk apa mereka melakukan ini semua, berdoa dan menaburkan bunga.
Sedetik kemudian ada sesosok yang memperhatikanku. Diujung jalan sana, tak jauh dari persimpangan jalan. Kuperhatikan sosoknya yang semakin memudar.
Jantungku benar-benar terasa sakit ketika mendengarkan jawaban dari seorang ibu yang ikut menaburkan bunga. Hari ini, tepat 40 hari atas kepergiannya. Baru kusadari bahwa yang kulihat hanyalah bayang-bayang atas ketidakrelaannya untuk pergi.

Empat puluh hari yang lalu seorang pria memakai kaus putih mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Ia mengurangi kecepatan ketika hendak membelok ke arah kanan. Tapi dari arah berlawanan muncul mobil sport yang melaju dengan kecepatan penuh. Dan kecelakaan pun tak bisa dihindari.
×××
Esoknya, hari Rabu. Tepat tujuh hari sejak aku bertemu dengan ‘pria bermata sendu’ itu. Sengaja aku berangkat lebih pagi dari biasanya untuk melihat tempat kepergiannya. Disini, untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya, disini ia menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.
Baru selangkah aku meninggalkan tempat itu, kulihat sebuah bayangan yang begitu cepat. Ia ada disana. Aku merasakannya. Dan ia tersenyum untukku. Untukku seorang.


[Johana_Yoe]

Kamis, 20 Januari 2011

Kau&Aku


Aku berdiri disini. Semua orang meneriakkan namaku. Kalau tak ada orang disampingku yang menjagaku agar tetap berdiri, mungkin aku akan mengira ini adalah mimpi. Mimpi yang sekian lama menyesak di dadaku.
Kulihat kau. Diujung sana. Sedang manatapku. Ingin aku memelukmu. Dan mengatakan padamu, bahwa semuanya telah usai. Inilah impianku yang mereka anggap konyol.
Kau tersenyum padaku. Hanya padaku. Ingin aku memiliki senyum hangatmu itu. Melihatnya lagi dan lagi.
Ketika air mataku tak tertahankan lagi. Dan kukeluarkan semua apa yang kupendam selama ini. Kini aku benar-benar merasa hidup. Setelah sekian lama terpendam dalam belenggu ini.
Kau tersenyum padaku lagi. Dan seolah mengatakan Tak apa, menangislah sepuasmu. Panggung ini milikmu. Hanya milikmu.
Aku terjongkok dan masih kudengar namaku yang diseru-serukan. Untuk apa aku memiliki semua ini tanpamu? Sudah kutahan semua rasa sakit ini. Kini aku akan melangkah bersama denganmu lagi. Berdua. Tidak ada lagi yang bisa memisahkan kita.
Kuangkat kepalaku. Semua orang kini begitu bangga akan diriku. Diriku yang baru ini. Semua telah mengubahku. Ingin kukatakan pada semua bahwa ini sudah waktunya. Ingin kukatakan pada semua, bahwa aku tak tahan lagi.
Dulu, kau yang mengangkatku bangun ketika aku terjatuh. Tapi kini tiada lagi kau disisiku. Kau hanya bisa menungguku diujung jalan sana. Ingin aku menyerah dan menghampirimu yang sedang menungguku dengan kesetiaanmu.
Ingin kugores pergelangan tanganku untuk memepercepat waktunya. Tapi mereka selalu menemukanku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketika aku tersadar. Aku belum melihatmu disisiku.
Mengapa mereka melakukan ini? Apa mereka ingin menyiksaku dengan membuatku berlama-lama disini?
Saat itu, kulihat kau. Menatapku nanar. Aku tak dapat mengartikan tatapanmu itu. Andai aku dapat berlari kearahmu dan kutanyakan arti tatapanmu itu.
Kini baru kusadari, dunia kita benar-benar berbeda. Ingin sekali aku mengingkarinya.
Hari itu benar-benar tiba. Kulihat Mama menangis disamping pembaringanku. Kulihat Papa menutup muka dengan kedua tangannya. Memang bukan seperti ini yang kumau. Tapi inilah yang aku tunggu-tunggu. Setelah sekian lama aku menahan sakit yang begitu menyiksaku. Aku tau, aku sangat egois, hanya memikirkan diriku sendiri.
Saat aku menyesali apa yang terjadi, ingin aku kembali kedalam hangat pelukan mereka. Kau datang mengulurkan tangamu yang kekar, persis seperti saat pertama kita bertemu. Kau ingat kan?
Lalu tanpa bertanya padaku, kau membawaku terbang tinggi ke tempat yang begitu asing. Hanya satu yang begitu pasti. Genggaman tanganmu yang hangat dan kuat menenangkanku, senyumanmu yang menyejukkan. Tak ada lagi yang memisahakan kita. Karena maut telah kita lewati berdua.

[Johana_Yoe]

Sabtu, 15 Januari 2011

Selalu dalam hidupku, Selau dalam hatiku...

 Sebenarnya, cerpen ini selesai kubuat sehari sebelum hari Ibu tahun 2010 kemarin, tapi aku benar-benar lupa untuk mem-postingnya di Blog dan yang lebih parahnya lagi: aku lupa menyerahkannya pada Mama-ku... T.T


Lagu Bunda dari Melly Goeslaw mengalun lembut menentram hatiku saat ini.
Aku duduk seorang diri.  Semua hadir kembali dan terlihat jelas didalam mataku. Ketika ia membelai rambutku. Tatapannya yang menenangkanku, dan senyumnya yang selau membuatku untuk ingin terus melihatnya.
Kerja kerasnya selama ini tentu membuahkan hasil yang tidak sedikit. Kerja kerasnya selama ini bukan hanya menyekolahkan kami. Ia mendidik kami, memberikan kasih sayang kepada kami. Itulah pengorbanan pertama dari seseorang yang begitu tulus yang pernah kukenal.
Pikirkupun melayang
Dahulu penuh kasih
Terlihat jelas bagaimana perjuangannya membesarkan kami. Membanting tulang sekian tahun. Menjadikan kami “Manusia”.
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Bagaimana mereka bicara padaku seperti apa ibuku waktu dulu, bagaimana perjuangan ibuku membesarkanku. Betapa kerasnya perjuangan ibuku mengatasi permasalahan keluarga kami.
Aku ingat bagaimana orang-orang diluar sana menatap sebelah mata keluargaku. Bagaimana mereka membicarakan kami.
Nada-nada yang indah
S
lalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Caranya menasihatiku, memberi solusi akan semua problem-ku. Bagaimana pedulinya ia terhadap teman-temanku. Ia selalu menemaniku. Menenangkanku.
Saat aku merengek meminta sesuatu, aku tau ia sedih. Kami memang tak seperti keluarga-keluarga lainnya. Ia selalu membuatku nyaman dan mengerti akan kata-katanya.
Tangan halus nan suci
T
lah mengangkat tubuh ini
Tangannya yang hangat, yang membelaiku, yang menemaniku saat aku rapuh. Hanya dengan sentuhan tangannya, aku tahu. Aku tahu betapa besar kasihnya terhadap kami, anak-anaknya.
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Saat ini, hampir 30 tahun sudah ia menemani kami. Ingin aku membalas budinya. Ingin aku memeluknya dan berkata. Kami anakmu, dan kami mencintaimu.
Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan slalu ada di dalam hatiku

     Ia adalah cahaya dalam hidupku. Ia yang mengenalkanku pada dunia. Ia menuntunku keluar permasalahanku. Ia pahlawanku. Ia adalah ibuku.

Esoknya kutemui ia sedang bekerja, dan aku berlari menghampirinya. Kupeluk ia erat. Dan, kukatakan bahwa aku mencintainya.

Ia adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menemaniku dan menuntunku. Ia selalu ada dalam hidupku, selalu dalam hatiku.

Oh Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada dalam hatiku.


Happy Mother’s Day, Mom!
I­­­­-L~O~V~E-U
                                    





[Johana_Yoe]

Jumat, 14 Januari 2011

Cinta Nggak Bikin Kenyang

Halo, mau baca cerpen kan? Nih saya postingkan cerpen terbaru saya...Baca trus kasih komentar ya


“Nda! Tungguin, Nda! Yolanda!!!”
                Bedebam-bedebum suara sepatu Weni di lorong, diantara loket-loket sekolah yang berkarat. Ada beberapa siswa yang sedang mengambil buku-buku pelajaran dari loket mereka yang menoleh ke arah Weni.
                “Heh? Napa lo?” Aku mengernyit heran. Nggak pernah liat aku si Weni segitu semangatnya ngejar-ngejar aku. Aku menengok-nengok mencari kali aja ada kamera buat syuting film India? Who’s know???
                “Nggal pa-pa. Hehe. Habis lo jalannya cepet banget sih. Kayak sepur ( kereta ).” Weni nyengir lebar.
                “Huh! Gila lo. Gue kira ada syuting film India tau. Pake acara lari sambil teriakin nama gue lagi.” Aku nyerocos sambil jalan. Weni menjajari langkahku.
                “Nggak pa-pa lagi. Kita ‘kan best friend.” Weni nyengir lebar ( lagi ).
                Mendengar ucapan Weni aku lansung tersenyum seraya berkata, “Hahaha. So pasti, Weni.” Aku merangkulnya sambil mengobrol asyik tentang teman-teman kami.
                Aku pulang dengan semangat yang masih penuh. Walaupun tadi di sekolah sudah cerita panjang lebar, tinggi pendek, jauh dekat sama si Weni, aku tetep nggak capek. Malah bahagia banget. Setiap hari ku penuh denga sukacita dengan teman dan keluarga.
                “Aku pulang!” Aku melepas sepatuku di depan rak sepatu dan meletakkannya sembarangan, tanpa melepas kaus kaki. Aku jalan ke dapur.
Biasanya setiap aku pulang sekolah, bunda sedang menyiapkan makan siang di dapur sambil menunggu aku dan ayahku pulang. Sebenarnya ayah bekerja sampai sore. Tapi, beliau selalu menyempatkan diri untuk pulang pada jam makan siang agar kami bertiga bisa makan bersama. Sepertinya ayah temanku tidak ada yang seperti itu, Aku jadi merasa bangga pada ayah. Dad I’m proud you!
Biasanya sih aku yang selalu sampai duluan ketimbang ayah. Soalnya pekerjaan ayah banyak dan bosnya itu tipe orang yang berprinsip ‘Waktu Adalah Uang’. Time is money. ( Tapi, mbok ya jangan memforsirkan kayak begitu dong. Kasihan ayah yang kecapekan ). Tapi, hari ini tumben-tumbenan ayah datang duluan. Aku menghampirinya untuk mengucapkan salam dan mengecup pipinya seperti biasa.
Ketika aku menghampiri bunda dan ayah, mereka menjadi seperti salah tingkah. Mata bunda memerah dan berkaca-kaca. Napas ayah naik-turun seperti sedang marah. Eit, sepertinya benar-benar marah. Ku lihat dapur yang selalu rapi kini berantakan.
Ayah keluar dari dapur dan bunda semakin keras menangis dan terduduk di lantai. Bunda terlihat semakin tua beberapa tahun dari umurnya dan terlihat amat rentan dan terpukul. Aku buru-buru mengambilkan air putih. Namun, tak bisa kuelak, tanganku gemetar. Baru sekali ini aku melihat ayahku begitu. Ada apa, ayah? Aku membereskan dapur sambil bertanya-tanya dengan perasaan tak enak. Aku merasa suatu hal buruk, benar-benar buruk sudah terjadi.
Sorenya bunda baru bisa cerita setelah tertidur karena terlalu shock ( mungkin ) atau mungkin kelelahan karena menangis terus. Ayah sudah kembali ke kantornya sejak siang tadi. Aku tak mengucapkan apa-apa ketika ayah berangkat ke kantor. Karena muka ayah yang menahan marah, aku jadi takut salah bicara.
Ayah terlibat cinta lokasi dengan asistennya ( Yaelah! Kayak anak muda aja! Plis deh! ). Aku heran mendengarnya. Asistennya baru berusia 25 tahun dan baru sekitar setengah tahun bekerja. Usia yang masih terlalu muda dan waktu yang terlalu cepat untuk mengambil hati ayahku. Sepertinya mereka sudah menjalin hubungan selama beberapa bulan dan ayah semakin melupakan bunda.
Kepalaku berputar-putar. Kenapa tiba-tiba seperti di dalam sinetron? Dulu setiap kali aku menemani bunda menonton sinetron, seringkali aku menjumpai cerita seperti ini. Tapi, dipikaranku, hal semacam itu tidak akan terjadi padaku dan keluargaku. Kami begitu harmonis sebelumnya. Ya, sebelumnya. Sekarang tidak lagi. Ayah sudah jarang pulang. Mungkinkah beliau tinggal di rumah ‘pacar’nya? Aku ogah memikirkannya.
Aku menyibukkan diri di kegiatan OSIS dan bersama teman-teman. Di rumah terlalu engap untuk berlama-lama berdiam. Sebenarnya aku kasihan terhadap bunda. Aku tahu beliau pasti sedih, ya terpukul, marah. Tapi, aku juga perlu sendiri. Berpikir. Apa yang harus aku lakukan?
Sesekali aku mengajak bunda jalan-jalan. Berangsur-angsur keadaannya pulih. Bunda sudah bisa berpikir jernih. Sudah lebih tenang bila membicarakan ayah. Sebenarnya aku sudah nggak ingin dengar tentang ayah, tapi, kita harus membicarakan itu agar menemukan jalan yang terbaik bagi kami bertiga. Dan mau bagaimanapun juga, dia tetap ayahku. Tapi, jauh di dalam hatiku, dia bukan sosok ayah yang sempurna lagi. Dia nggak pernah membayari uang sekolahku lagi dan memberi uang belanja kepada bunda.
Padahal, menurut cerita bunda, dulu mereka berdua saling cinta. Ayah cinta mati kepada bunda. Begitu tutur katanya kepada bunda ketika melamar. Berjanji akan setia, saat susah-senang di depan pendeta. Di depan Yesus Kristus.
Memiliki masalah pelik seperti ini membuatku berpikir dua kali untuk berpacaran. Untuk apa pacaran? Untuk apa menikah kelak? Toh, nyatanya cinta itu nggak bikin kenyang. Nggak akan deh.
Di sekolah saat jam istirahat kedua, aku dan Weni serta teman-teman yang lain nongkrong di kantin besar. Sekolah kami memiliki 3 kantin. Yaitu kantin OSIS, kantin pojok—karena letaknya yang di pojok sekolah dan kantin besar—karena tempatnya yang luas dan banyak menjual berbagai macam makanan. Di jamin kenyang + kantong jebol kalau kelamaan nongkrong di situ.
Kami bicara banyak bersama-sama. Aku nggak mau kehilangan satu detik pun untuk melamunkan perbuatan ayah terhadapku terutama bunda. Lebih baik 100 kali jika waktuku kuhabiskan untuk belajar, teman, OSIS dan bekerja. Yup, sekarang aku bekerja di supermaket 24 jam dekat rumah. Aku dapat sift siang sepulang sekolah sampai sore. Lumayan gajinya buat uang saku. Bunda juga bekerja di butik temannya sebagai tukang jahit. Pendapatannya lumayan untuk belanja sehari-hari dan bayar sekolah.
Pokoknya aku sudah senang aku dan bunda bisa bangkit lagi. Awalnya aku berpikir mana bisa aku keluar dari masalah sebesar ini? Bagaimana kami berdua hidup tanpa ayah? Aku seperti tak melihat jalan keluar saat itu. Tapi, kini aku yakin sekali, bahwa Tuhan Yesus ada di dalam hatiku. Aku merasa damai. Ternyata, masalah yang begitu berat ini membawa berkah baik bagiku. Aku jadi semakin dekat dengan Tuhan. Lebih rajin ke gereja. Aku menemukan ketenangan batin di sana.
Teman-teman juga benar-benar mendukung aku. Masalah ini juga membawa kami semakin dekat bak saudara. Mereka biasanya di akhir pekan menginap di rumah agar bunda terhibur. Aku makin sayang mereka.
Ayah benar-benar tidak pulang sama sekali. Lalu, hari itu bunda menerima surat cerai dari ayah. Bunda menangis sesenggukkan dan aku menenangkannya dan mengelus-elus punggungnya yang bergetar. Dan, bunda menandatanganinya. Dan ketika itu, aku merasa, inilah jalan yang terbaik bagi kami semua. Ini bukanlah sebuah akhir dari sebuah keluarga. Malah, ini adalah awal dari keluarga yang baru. Dan dari sini, kita akan buat kenangan baru. It’s just a beginning, guys!               Ayah juga menyadari dirinya salah dengan menelantarkan keluarganya. Padahal kami tidak bersalah. Akhirnya, ia berjanji akan memberi santunan untuk membesarkanku setiap bulan sebesar 5 Juta. Awalnya aku tidak mau menerima. Namun, bunda, teman dan guru memberi pengertian. Katanya, ini masih kewajiban ayah sebagai ayah yang baik untuk memberikan santunan setiap bulan kepada anaknya. Agar anaknya tidak terlantar. Aku mengerti dan akhirnya menerima uang itu untuk membayar sekolah dan membeli buku.
“Tuhan, berikan aku hati yang lapang untuk memaafkan ayahku sepenuhnya. Berikan aku juga ketabahan untuk melewati hari-hari yang berat. Dan semoga aku dan bunda selalu berada di dalam damai-Mu. Amin.”

Kamis, 13 Januari 2011

Sejuta Maafku

Kau berjongkok. Sebelah tangannmu menutupi wajahnmu yang murung. Aku tahu ini menyakitkan untuknmu. Aku tahu ini menyedihkan. Tapi kumohong mengertilah, ini keputusanku.
Kau katakan bahwa kau ingin selalu ada disampingku. Tapi aku ingin mendengar kalimat itu bukan darimu. Aku memang egois. Aku tak pernah memikirkanmu. Ini benar-benar tak adil buatmu. Maaf...
Hanya kata maaf yang bisa kuucapkan. Aku tak pintar menghibur seseorang. Apalagi seseorang yang baru kusakiti. Aku hanya akan menyakitimu. Maaf...
Sejak awal kau sudah tau perasaanku padanya. Aku bercerita banyak padamu. Kutumpahkan semuanya padamu.  Tapi, sekarang aku benar-benar mengerti dan merasakan apa yang kau rasakan saat ini. 
Aku hanyalah gadis bodoh yang menyukai temanku sendiri. Kau pasti juga merasa bodoh waktu kau menyadari bahwa kau menyukaiku, temanmu selama 3 tahun.
Kita bertiga adalah teman, tetapi kenapa kita harus menodainya dengan rasa suka yang memang takkan pernah tercapai?  Kau menyukaiku, dan aku malah menyukainya. Kita benar-benar terjebak dalam cinta segitiga yang sangat rumit.
Kau tau bagaimana ekspresi wajahnya saat aku mengatakannya? Matanya membulat manatapku bingung, bibirnya terkunci rapat. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan. Aku tau ia bingung setengah mati. Selama ini hanya ada kata ‘teman’ diantara kita. Tapi, aku hanya ingin mengatakannya dan itu hakku untuk menyukai seseorang, dan mengungkapkannya, bukan?
Kurasa sekarang rasa bersalahku padamu sudah semakin berkurang. Karena aku juga merasakan apa yang kau rasa.
Sekarang aku benar-benar kesepian. Tapi apa jadinya, jika aku menerimamu, dan aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya? Apa kita masih sama seperti dulu? Tapi aku tak mungkin mengorbankan dirimu. Maaf, aku benar-benar egois. Pantas ia menolakku. Dan aku juga sebaiknya tak bersama denganmu.
Sekolah benar-benar terasa sepi hari ini. Walaupun semua murid yang sekiranya berjumlah 400 orang hadir dikantin sekolah saat ini juga. Walau terjadi kebakaran di kantin saat ini juga. Tak ada kau dan dia benar-benar serasa mati.
          Benar-benar hampa hidup tanpa seorang teman yang telah menemaniku selama 3 tahun terakhir.  Ingin kulangkahkan kakiku kedepanya, dan kukatakan, kembalilah seperti dulu, dan aku tak apa-apa.
          Dan kemudian akan kuangkat wajahku untuk menatapmu. Dan akan kukatakan, maafkan aku, tapi megertilah bahwa ini adalah keputusanku.
          Tapi saat itu tiba, kulihat kau berjongkok, dan sebelah tanganmu menutupi wajahmu yang memerah. Aku tau ini menyakitkan untukmu, maaf... aku tak memilihmu.

I Love My Friendz

I





!-L.O.V.E-U_M~Y_FRIENdS

Senin, 03 Januari 2011

Kisah ini, Kisah Yang Kukenang

Aku melihat mama menangis, kakak laki-lakiku membanting gelas. Dan papah hanya diam terpaku.
Aku tidak tau apa-apa, itu yang hanya bisa dipikirkan oleh anak berumur 10 tahun sepertiku. Aku hanya berani memegang sebuah boneka beruang tua, yang dulunya milik kakak perempuanku yang sekarang sudah menjadi milikku karena kakakku sudah terlalu tua untuk masih memilikinya.
            Kupeluk boneka itu erat, Brian nama boneka itu.
            Sebenarnya, aku ingin menangis, tapi sumpah aku tidak tau apa-apa, dan kenapa aku ingin menangis.
            Kulihat mama dan kakak perempuanku mengangkut kardus-kardus berisi pakaian keluar rumah. Disisi lain, kulihat kakak laki-lakiku sedang bersujud di depan ayahku.
            Oh, Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi disini?
            Aku hanya menurut ketika kakak perempuanku menggandengku keluar rumah dan membawaku ke suatu tempat yang asing bagiku.
            “Mulai sekarang, ini rumah kita.” Itu ucap kakak perempuanku. Aku hanya menatap rumah itu dengan sedih. Kenapa harus disini? Kenapa tidak disana saja? Bagaimana dengan boneka-bonekaku yang lain?

TTT


            Kuikat tali sapatuku sekencang mungkin. Sudah kupastikan aku akan berlari hari ini. Jam sudah sejak tadi bertengger di angka delapan. Dalam waktu 30 menit aku sudah harus sampai di cafe.
            Musim semi datang. Daun-daun berjatuhan menemani perjalananku pagi ini. Sekali-kali aku berlari agar aku bisa segera sampai di halte.
            “Mama...”
            Kuarahkan pandanganku kesebuah rumah kecil yang di dominasi warna cokelat. Kulihat seorang anak yang minta digendong oleh ibunya. Anak itu manis sekali. Bajunya yang berenda berwarna merah jambu, boneka beruanya yang kecil, tangannya yang gemuk, matanya yang besar.
            Kuperhatikan mereka dari kejauhan. Ibu itu segera menggendong anak itu. Duh, bahagianya. Sepertinya mereka tak melihatku yang sedang memperhatikan mereka. Aku jadi semakin bebas melihatnya.
            Aku benar-benar terharu ketika kulihat seseorang datang dengan mobilnya yang berwarna hitam metalik dan turun kemudian menggendong anak itu. Sang ibu itu masuk dan membiarkan mereka berdua.
            Spertinya itu ayahnya. Ia membawakan sebuah boneka Barbie. Anak itu menangis. Anak itu mungkin memang tak tahu apa-apa. Tapi aku yakin ia mengerti keadaan keluarganya.
            Kulanjutkan perjalananku. Aku tau, bagaimanapun kisahku itu, selalu menjadi bagian hidupku. Selalu ada dalam memori masa kecilku. Hal yang menyakitkan, memang.
            Tapi, percayalah, ada beberapa sisi yang membuatku tegar dan bangga akan diriku. Aku tidak tumbuh menjadi anak yang tidak bisa apa-apa dan bergantung. Yakinlah, kisah ini, adalah kisah yang kukenang. Selamanya...

Sabtu, 01 Januari 2011

Ini Impiku

Aku merasa bangga akan diriku yang sekarang.
Dan, rasa ini akan semakin besar di hari esok...
Kuberharap, ini tidak hanyalah mimpi.
Dengan perjuangan dan pengorbananaku...
Aku akan menggapainya.
Dan kerika saat itu tiba, kukatakan pada diriku : Aku Bangga Padamu!

Orang itu....

Orang itu, yang membuatku tersenyum



Orang itu yang membuatku menangis



Orang itu, dengan bibir yang hangat
Orang yang telah menemukan hatiku
Aku tidak bisa menghapus orang itu
Aku tidak bisa melupakannya
Orang itu seperti nafas
Orang itu meninggalkanku
Orang itu, Cintaku...Menyakiti hatiku...
Orang yang tidak tahu apa-apa
Aku mencintaimu,
Dan aku mencintaimu lagi
Aku tak punya pilihan lain,
Selain membiarkanmu pergi
Meskipun hatiku berkeping-keping...
Meskipun kenangan menusukku...
Jatuhnya air mata orang itu...
Sakitku lebih...
Orang itu aku cinta...
Aku sakit hati
Orang yang tidak tahu apa-apa,
Daripada airmata, bukan kesedihan
Lupakan aku dan hidup bahagia, cintaku...
Ketika akhir hidup kita,
Dan ketika kita tutup mata kita,
Ingin sekali saat itu
Aku mencintaimu,... dan aku mencintamu lagi...

Geu Saram
Lee Seung Chul