Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Jumat, 29 April 2011

Cinta itu Memuakkan!


Aku muak dengan semua yang ia lakukan padaku.
Itu berawal setahun yang lalu ketika aku memulai tahun pertamaku di universitas. Ia yang menjadi seniorku, mungkin merasa hebat, sehingga bisa melakukkan apa saja, sesuka hatinya.
Ia berusaha menarikku dari duniaku dan memonopoliku. Aku jadi tidak bisa bermain  dengan teman-temanku Aku tau, mereka pasti marah.Tapi, mau bagaimana lagi? Kurasa pacar lebih penting daripada teman.
 Cukup lama aku menjalin kasih dengannya, satu tahun. Bukan waktu yang singkat menurutku. Tapi, lama-kelamaan dia mulai menjauh. Cenderung cuek. Dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Sedangkan aku? Aku sendirian disini.
Sudah lama ini aku ditinggalkan teman-temanku, karena aku yang meninggalkan merka duluan. Aku tau, aku salah. Andai waktu bisa diputar, aku mau teman-temanku kembali padaku seperti dulu.
Tak ada lagi yang kuinginkan selain teman-temanku kembali, sekarang. Tapi bukan seperti ini yang kuinginkan.
Tapi, tiba-tiba, kedokmu terbongkar begitu saja. Dan kau tak meminta maaf karena itu. Aku berharap kau mengatakan maaf, sekali saja. Dan aku akan memaafkanmu, meski kau takkan kembali padaku—seperti yang kuinginkan.
Tapi, kau malah menghilang dibalik kerumunan orang banyak, dan tak pernah menunjukkan batang hidungmu lagi. Aku sendirian lagi disini. Aku benar-benar membutuhkan teman.
Sekarang mereka hanya disana, menatapku iba mengingat aku hanya menjadi bahan taruhan yang hanya seharga lima ratus ribu. Hanya sepert itu kah aku dimata mereka?
Aku takkan menyalahkan teman-temanku yang kini menatapku iba. Aku sendiri yang masuk ke permainan itu dan meninggalkan mereka. Ini bisa jadi hukuman buatku.
Aku juga tak mau menyalahkanmu. Tidak ada yang salah disini, hanya saja aku yang terlalu bodoh sehingga bisa masuk kedalam permainan konyolmu itu.
Kini, tiba-tiba kau datang kehadapanku, bersujud meminta maaf dan mengemis cintaku. Beuh! Muak aku melihat mukamu itu. Dengan harga berapa lagi kau taruhkan aku dengan teman-temanmu?
Maaf, aku takkan jatuh kedalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Aku tak mau jadi mainanmu untuk kedua kalinya. Aku muak!


Johana Yoe

Sabtu, 09 April 2011

A HULLAHOP


Aku meletakkan hullahop yang berdiameter sekitar setengah meter itu di lantai. Aku mengambil minum dan meninggalkannya di sana. Sampai aku berpaling dari sana, benda bundar itu setia di sana. Benda itu, milik Ayen.
Aku kembali ke rumah itu setelah sekian lama kutinggalkan.  Aku telah lama mengukir sakit di hati ini selama tinggal di sana. Banyak kenangan pahit yang terkenang, puluhan sakit hati kukecap. Smapai-sampai rasanya aku jadi tak kuat setiap kali mengingatnya satu persatu luka itu. Mungkin terlalu dalam luka itu sampai ketika kini sepuluh tahun setelah itu, aku masih bisa hapal sakitnya.
Aku menyentuh handel pintu yang terasa dingin di kulit. Pikiranku kembali ke masa kecilku.  Setiap aku tidur di sini, makan di sini, mandi di sini dan bermain di sini. Di handel pintu ini aku pernah terbentur.
Lalu langkahku membawaku mengelilingi rumah tua itu tanpa aku minta. Aku menyentuh semua yang bisa kusentuh. Meski berdebu, itu semua menimbulkan sensasi tak terduga. Aku sungguh-sungguh kangen ini semua.
Aku sampai di tempat terakhir yang ingin kukunjungi : Kamar tidurku. Di sana lebih-lebih banyak kenangan menyedihkan yang terasa sampai sekarang. Air mataku, dulu semuanya tertumpah di kasur dan bantal-bantal itu.
Masuk ke rumah ini, seperti kembali ke pusara kesedihan. Tempat dimana seluruh kesedihan berasal. Masuk ke rumah ini sama saja kembali membuka luka lama. Tapi, mau tak mau, semuanya akan terjadi, semua hanya masalah waktu, entah besok atau lusa, artinya semuanya bakal tetap terjadi kan?
Namun, ada satu kenangan indah di situ. Iya, hanya satu. Dan itu pun hanya sekejap. Namun, kamu memberikan kesan mendalam. Dia adalah teman ‘sesaat’ yang selamanya. Maksudnya, dia nggak mudah di lupakan oleh aku. Dimana yah aku bisa bertemu dengannya lagi?
Aku duduk di bibir ranjang kasur tua yang semakin dalam di duduki semakin berdecit ngilu memeberi kesan....seram mungkin?
Saat aku duduk, kakiku menendang sesuatu di bawah kasur. Warnanya coklat kekunigan : hullahup yang sering kumainkan dulu.
Aku mengambilnya dengan bersemangat. Aku mencoba memasukkan tubuhku ke dalam lingkarannya dan mencoba memutarnya. Tapi, aku sepertinya telah lupa cara melakukannya. Akhirnya yang aku lakukan cuma mengelus-elusnya.
Tapi, tiba-tiba gerakanku terhenti. Badanku membeku.
“Ayen? Sebastien? Kau kah itu?” Aku panik sekaligus senang saat aku mendapati ada gerakan-gerakan yang bersuara di dapur. Mungkin dia datang dari pintu belakang yang sempat aku buka tadi.
Aku kesana, tapi tak menemukannya. Mungkin dia kembali kagi ke rumahnya untuk mengambil cemilan. Dia tahu kalau aku suka bercerita panjang lebar dengannya. Jadi, aku menunggunya di sana, sampai fajar bermain petak umpet dan kalah bersuit dengan matahari dan terpaksa jadi penjaganya.
Aku sedih, tapi aku nggak bisa apa-apa. Besok aku ada pertemuan para penulis novel di salah satu perusahaan penerbit. Aku keluar dari rumah itu setelah yakin sudah mengunci semuanya—termasuk pintu belakang meski berat hati.
Aku mengunci pintu depan. Artinya, aku sudah harus kembali ke kehidupanku sekarang. Tadi selama seharian ini aku sudah menjadi Anggun ‘yang dulu’ dan sekarang aku harus kembali berubah ke wujud asalku.
Di depan rumah itu, aku bertemu dengan ibu Ayen.
“Eh, nak! Sini, nak. Ibu pikir kamu sudah pulang sejak siang.” Beliau tampak sangat bahagia. Beliau sangat baik kepadaku.
“Iya, tante. Ini baru mau pulang. Tadi saya iseng masuk ke dalam rumah. Rasanya kangen sekali ya, “ Pikiranku melayang, pandanganku menerawang, “Saya nggak bisa lama-lama, tante. Saya harus pulang. Kapan-kapan saya mampir lagi ya, tante.”
“Iya, kebetulan acara peringatan sepuluh tahunannya Ayen juga baru selesai tadi.  Hati-hati ya, nak Anggun. Jangan sampai kecelakaan seperti Ayen terulang lagi sama Anggun. Tante sayang sama Nak Anggun seperti sayangnya tante sama Ayen.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Tante, Anggun juga sayang sama tante sama seperti sayangnya Anggun ke orang tua Anggun, kok.”
“Oh ya, minggu depan adalah hari peringatan kematian orang tuamu kan?”
“Iya. Tante datang kan?”
“Iya. Nanti tante bawa makanan kesukaanmu.”

Iya, benar. Aku baru sadar... Kini, kenangan indah satu-satunya telah benar-benar tiada. Ayen tidak ada lagi di sampingku. Selama ini, aku selalu hidup dalam kepercayaan bahwa Ayen akan kembali padaku, tempatnya berpulang di dunia ini. Tapi, aku salah, dia telah berpulang ke rumah yang kekal abadi, dimana tiada tangis dan susah.
Sekarang, bagaimana bisa aku berdiri tanpa keyakinan itu lagi setelah aku tersadar?

By : Yolanda Yoe

Kamis, 07 April 2011

Aarrgghh...It's Shoking day!


“Arrgghh! Kenapa nggak ada yang ingat ulang tahunku??? Huhuhu...” Aku berteriak membuyarkan keasyikan bergosip teman-temanku.
                “Ada apa sih? Gituan kok di pikirin?” Reko menjawab acuh tak acuh.
                Aku sakit hati mendengar jawabannya.
                “Ihh, nyebelin sih Reko?” Aku merajuk dengan nada manja sambil menggeplak bahunya kencang-kencang. Memang makhluk satu ini yang nggak ketolongan nyebelinnya.
                “Aku ingat kok, Nda...” Riris menjawab dengan nada lemah lembutnya. Biasanya dia anak yang paling diam di kelas. Untuk membuat dia berada diantara kita yang senang bergosip saja sudah menjadi mukjizat yang harus di rayakan tujuh hari sembilan malam, apalagi sekarang dia mau angkat bicara dan dia mengingat ulang tahunku! Aihh, senangnya hati!
                “Really? Aaaahhh, Riris memang baik. Nggak kaya anak-anak yang lain. Huft, aku benci kalian!” Aku memang mengatakan ‘benci’,  tapi bagi mereka yang sudah kenal aku, pasti mereka tahu apa maksudnya. Maksudnya aku ingin mereka mereka memahami perasaanku, aku ingin mereka ingat ulang tahun saja. Itu saja. Simpel bukan?
                “Ihh, Nda kok gitu sih? Kaya anak kecil tahu nggak?” Sissy menjawab dengan agak ketus.
                Aku nggak mau ambil pusing.
                Lalu Riris melanjutkan tentunya dengan nada yang lemah lembut khasnya, “ Iya, aku inget kok, Nda. Tanggal 30 Februari ‘kan?”
                Aku speechless.....


Dua hari lagi alias lusa alias hari Rabu besok adalah hari yang spesial bagi aku. Tapi sepertinya nggak buat anak-anak yang lain. Huhuhu. Aku sedih banget.
Aku pulang sekolah sambil bawa hati aku yang lagi dongkol abis. Mereka bisa-bisanya nggak tahu hari ulang tahunku. Bahkan saat aku ngambek tadi pagi, mereka juga nggak berusaha minta maaf atau minimal tanya kapan sebenarnya ulang tahunku.
“Aku pulang, mah.” Aku mencari-cari mamah. Saat aku masuk ke dapur, aku melihat mamah sedang mencicipi sesuatu yang sedang di masaknya.
“Mah? Tumben mamah masak?” Aku berjalan ke sebelahnya.
“Memangnya mamah nggak boleh masak?” Mamah menjawab sambil menatapku sepintas.
“Ya, eh, nggak gitu...” Aku takut menyinggung perasaan mamah.
“Biasanya ‘kan mamah selalu main ke rumah temen atau temen mamah yang main ke sini. Ada apa, mah? Apa Tante Sopha mau main ke sini lagi?” Aku bertanya dengan nada yang tenang sebisa mungkin. Mana bisa aku tenang kalau Tante Sopha akan datang?
Tante Sopha memang tidak datang, tapi, sebagai gantinya anaknya yang akan datang untuk mengantarkan barang pesanan mamah yaitu Vaccum Cleaner yang di pesan di toko milik Tante Sopha.
Huft, aku buru-buru menyusun ulang rencanaku sore ini. Jangan sampai aku bertemu atau minimal bertegur sapa dengan anaknya itu. Aku tidak kenal dengan anak Tante Sopha. Tapi, aku memegang prinsip: Like Mother Like Son. Buktinya aku.
Mamah adalah anak semata wayang dari kakek dan nenek. Jadi ibu sangat di manja dan ibu tipe orang yang semua keinginannya harus di turuti. Yah, nggak beda jauh sama aku lah. Jadi, kesimpulannya, menurutku anaknya pasti nggak beda-beda jauh dari tante Sopha.
Aku langsung mengambil tasku sembarangan. Entah apa yang aku bawa di dalam tas itu. Aku langsung naik ke atas sepedaku dan bermaksud menggayuhnya ke rumah Reko. Yah, aku memang sedang sebal dengannya, tapi, aku lebih baik ke sana ketimbang harus berdiam di rumah. Apalagi dengan tamu yang ‘mana tahan’.
Aku masuk ke rumah Reko dan di sambut oleh Ethan, angjing peliharaan Reko. Aku masuk ke ruang keluarga, tempat Ibu Reko biasa menonton televisi. Tapi, di sana aku tidak hanya mendapati Ibu Reko, tapi juga Riris. Ada apa nih?
Aku nggak tahu apa yang terjadi sama hati aku. Tapi aku ngerasa ada yang aneh waktu lihat Riris sama Ibunya Reko akrab banget. Aduh, Tuhan....Ada apa ini?
Aku menghancurkan rencanaku sendiri. Aku langsung pulang begitu melihar Riris di rumah Reko dan pulang ke rumah. Sekarang, persetan aku akan bertemu dengan anaknya Tante Sopha atau tidak. Aku Cuma ingin bertemu dengan mamah dan bercerita, dan menanyakan, ada apa dengan aku sebenarnya?
Begitu sampai di rumah dengan sepeda yang kukayuh cepat, aku langsung mendobrak pintu dan berlari ke arah mamah.
“Mamah! Huhuhuhu.”
“Hush, nggak sopan ada tamu kok mewek begini?”
“Masa’ Riris tadi ada di rumahnya reko. Trus-trus-trus dia kelihatan akrab gitu sama ibunya. Ihh, mereka kaya orang pacaran aja deh.” Aku terus nyerocos tanpa memedulikan teguran mamah.
Lalu mamah sepertinya berusaha bersikap bijaksana,” Ya mungkin mereka memang beneran pacaran kali... Kenapa kamunya yang ribut begitu?”
“Nah, itu dia, mah!” Mamah kaget dengan suaraku yang keras,” Kenapa yah aku ngerasa aneh waktu ngelihat mereka berdua sedekat itu ya?”
“Hahaha. Ya itu karena kamu biasanya lihat mereka sebagai temen. Tapi, barusan kamu lihat mereka sebagai pasangan. Orang itu kelihatan beda waktu sama temen atau pacar. Gitu...” Mamah usai mengungkapkan teorinya.
“Ohh, gitu ya, mah?”
“Iya...”
“Iya juga, yah. Selama ini ‘kan kita selalu main sama-sama. Jadi, begitu liat mereka pacaran, aku ngerasa beda aja. Hehehe.” Aku mulai tenang. Setidaknya persahabatan kami tidak akan bubar gitu aja.
“Makanya, kamu cari pacar, dong. Segede gini masih kaya anak kecil gitu...” Mamah menyentuh hidungku dengan sayang.
“Hahaha. Pacar? Nanti-nanti, deh!” Aku mengibaskan tanganku di depan wajah. Aku masih berpikir kalau urusan cinta itu ribet.
Aku baru merasa capek setelah tadi mengayuh sepeda kencang-kencang dari rumah Reko dan nyerocos panjang –lebar-tinggi-pendek sama mamah. Aku merasa haus dan kakiku pegal. Aku duduk di sofa ruang keluarga dan meminum jus jambu yang ada di meja. Isinya tinggal setengah.
Aku memejamkan mataku dan tiba-tba berpikir, jus jambu itu punya siapa yah?
“Ha-hai!”
Astaga! Mungkin dia anaknya Tante Sopha.
“Mamaaahhh!” Cowok itu kaget. Mamah berlari dari ruang tamu setelah menutup pintu waktu aku sampe di rumah.
“Ada apa, sayang?” Mamah panik.
Aku menunjuk ke arah cowok itu. Sepertinya dia mendengar pembicaraanku dengan mamah tadi. Ya ampun! Malu sekali.
Lalu, apa itu? Dia menatapku intens. Sedikit berkedip. Apa dia nggak bisa memejamkan matanya ya? Tapi, kenapa dia senyum-senyum gitu? Uh-oh, senyumnya...
“Oh, si Milo...” Aku melotot dengan nada bicara mamah yang tenang,” dia baru balik dari German loh.” Mamah seperti sedang promosi.
Dia? Kenapa mamah bicara seperti teman lama? Oh, astaga! Sepertinya kejutan hari ini tiada hentinya, Tuhan...
“Milo?”
“Aku kangen kamu, gendut!!!” Cowok yang bernama Milo itu tersenyum manis sekali. Dia, teman lama yang paling baik.

By : Yolanda Yoe

Sebuah Pinokio yang Tak Bernyawa


Aku merasa malu dengan diriku sendiri, dengan kamu dan dengan perasaan ini. Aku malu, karena seakan-akan aku terlalu mengharapkan cinta itu, menginginkan asa itu. Kenapa? Kenapa aku harus begini? Kenapa aku dulu begitu? Kenapa kamu buat aku seperti ini?
                Pikiranku selalu tidak sampai tiap kali aku berpikir tentang itu. Aku selalu tak bisa menahan yang meluap di dalam aku, entah sakit, entah cinta atau bahkan benci saat aku melihat kamu. Apa kamu rasakan itu juga?
                Katakan padaku. Katakan kalau kau cinta aku, tapi jangan kalau yang terjadi adalah terbalik.
                Yah, dunia memang kini serba terbalik. Banyak cowok bertingkah bak cewek dan cewek sok tomboi. Dan, saat kelak aku telah BISA melupakanmu, kamu pasti akan meminta-minta cintaku! Akan ku buat begitu!
                Tapi, saat ini...tidak! Aku tak bisa melepas semua yang terjadi diantara kita selama ini. Aku mau mengenangmu sebentar lagi. Maaf kalau kamu dengan dirinya—gadis penggantiku merasa terganggu, tapi please, izinkan aku memiliki kamu dalam kenangan itu agar seakan aku hidup bahagia sampai detik ini. Bukan masalah aku akan sakit lagi nantinya. Aku Cuma butuh kamu sekarang meski hanya sepenggal memori. Setidaknya sampai, sampai aku benar-benar merasa bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri dan bukan dengan ilusi.
                Aku janji, setelah aku puas dengan segala euphoria-ku, aku akan membiarkanmu lepas walau sebenarnya aku memang nggak pernah menangkarmu dalam sangkar emas. Saat itu aku akan bisa tersenyum tulus, tulus ke dalam matamu.
                Tapi, ada apa ini??? Kenapa kamu plin-plan dengan perasaanmu? Bukankah aku sudah relakan semua? Tapi, kenapa kamu seakan memberikan asa? Kau pikir aku akan senang dengan semua itu? Aku sakit... Sakit dengan kamu yang mendorongku ke lorong waktu dan membawaku kembali ke euphoria indah bersamamu. Lalu, aku mulai bermimpi indah lagi. Aku akan menari-menari dalam indahnya khayalan sendiri tanpamu! Kamu Cuma kasih asa semu bagiku. Perlahan aku tersadar, aku berada dalam dimensi lain. Dimensi cinta yang tak bertepuk. Cinta yang sepihak, cinta yang tak terbalas. Agape!
                Aku bukan boneka kayu permainanmu. Pinokio saja bisa bertindak sesukanya, tapi kenapa aku harus bahagia dan menangis sesuai kehendakmu permainkan aku? Aku membangun pembatas dunia luar dan duniaku sendiri agar aku tidak akan pernah bisa jatuh di lubang yang sama untuk kedua kali, ketiga kali dan kesekiannya.
Aku selalu bisa menjadi gadis yang ‘unreachable’ sebelumnya. Sebelum aku terpaku hanya kepadamu. Tapi, seketika aku luluh dengan senyummu. Tapi, kamu keraskan lagi dengan dinginnya tatapanmu. Kamu kenapa? Aku terlalu tidak sempurna bagimu? Suka, suka, suka... Tapi aku tidak bisa hidup hanya dengan itu. Mungkin aku benar-benar sebuah pinokio yang tak bernyawa bagimu.

By : Yolanda Yoe

Nama yang Selalu Kusebut


Aku berjalan sedikit cepat dengan rambut panjang tergerai sepinggang. Aku sedikit kedinginan. Sore ini agak mendung dan angin yang menusuk. Maklum saja, sekarang masih bulan Desember, dan menurut pergantian musim yang ada di Indonesia, Bulan Desember masih musim hujan. Tapi, itu juga belum tentu sih. Zaman sekarang ‘kan zamannya sudah beda. Musim sudah nggak tentu. Kadang hujan, tapi sesaat panas. Tapi, hal itu nggak menghentikan langit sore ini untuk begumul membentuk awan.
                Ahh. Andai aku punya pacar. Pasti akan ada yang menemani aku di saat-saat seperti ini. Pasti akan ada yang mengajakku bicara saat mengantarku pulang berjalan kaki. Pasti akan ada yang menyampirkan jaketnya atau baju hangatnya ke bahuku. Iih, apa sih yang aku pikirkan? Teman lelaki saja nggak punya, apalagi pacar? I just dreaming >.<
                Aarrrggghhhh! Rasa-rasanya aku bisa hilang kendali bila memikirkan itu. Karena, kalau aku memikirkan soal pacar atau gebetan, pikiranku akan langsung membawaku ke memori setahun yang lalu. Saat itu di Negeri Sakura, sedang musim dingin. Dan pada malam itu, salju sedang turun. Aku menikmatinya bersama teman-teman sekelasku karena saat itu aku masih bersekolah di sekolah Jepang. Kami bersama-sama merayakan malam natal di Shibuya yang penuh dengan orang. Lalu, kami makan malam di restoran keluarga di dekat situ dan melanjutkannya dengan berkaraoke sampai larut malam.
                Aku katakan pada sahabatku bahwa aku harus pulang ketika jam tangan pink kesayanganku sudah menunjukkan pukul setengah dua belas! It’s midnight! Langsung saja ketika itu sekelabat wajah bunda yang cemas muncuk di pikiranku. Aku tahu bunda adalah orang mudah khawatir. Makanya, aku tidak ingin membuatnya makin gelisah, aku harus pulang.
                Eriko—sahabatku berusaha membujukku untuk tetap tinggal sampai acara karaokenya selesai. Apalagi semua teman sekelasku masih asyik bernyanyi. Beberapa anak malah ada yang bermain kartu Uno dan Yamada ada di antara mereka. Aku tidak bisa!
                Aku langsung mengambil mantel berbulu hadiah dari Yamada yang aku gantung di kayu dekat pintu. Ihh, tiap kali aku ingat si ‘pemberi mantel’ itu, aku pasti deg-degan. Aku sebenarnya nggak pernah memerhatikan Yamada secara khusus dan pribadi. Tapi, ketika kami sama-sama menjadi pengurus kelas, secara nggak langsung kami jadi kenal lebih dekat. Yah, aku belum mengakui aku menyukainya sih. Tapi, Yamada tiba-tiba mengajakku ke pantai berdua.
Ia juga sempat mengajakku menonton meski belum ada waktu yang pas karena kami sama-sama pengurus kelas. Tahu sendirilah, pengurus kelas bisa di bilang sebagai anak buahnya guru. Tiap pagi, kita harus berangkat lebih awal untuk piket besama anak lain yang bertugas, lalu saat jam pelajaran dimulai, kita harus membantu guru untuk membawa perangkat mengajar dan buku-buku tugas dari ruang guru. Saat jam pulang sekolah, kita juga harus piket lagi. Belum lagi kalau ada laporan yang harus di kerjakan sebagai pengurus kelas. Tapi, di sela-sela kesibukan itu, aku masih bisa tersenyum karena ada Yamada. Sungguh nggak ada yang bisa menggantikan masa-masa itu.
Tapi, aku merasa kehilangan Yamada ketika di semester berikutnya kami tidak bersama-sama mengurus kelas lagi. Kami di gantikan oleh Eriko dan Fukushima. Aku nggak tahu, apakah hanya aku yang merasa seperti itu, atau Yamada juga merasakannya ya?
Tapi, lambat laun waktu bergulir, Yamada tidak berusaha mengajakku mengobrol. Keadaan kami menjadi seperti saat kami belum menjadi pengurus kelas. Saat kami hanya mengenal kata ‘teman sekelas’ dan nggak lebih. Aku sedih, tapi aku tahu kalau aku nggak bisa berbuat apa-apa.
Yahh, mungkin juga Yamada bersikap seperti itu karena beberapa bulan setelah kami berhenti menjadi pengurus kelas, Fukushima menyatakan perasaannya padaku. Eriko meyakinkanku bahwa Fukushima lelaki yang baik. Katanya, Fukushima selalu membicarakanku saat rapat pengurus kelas. Akhirnya, aku menerimanya. Tapi, aku sepertinya nggak bisa bohong kepada perasaanku sendiri dan akhirnya memutuskan hubunganku dengan Fukushima.
Sampai akhirnya upacara kelulusan, Yamada menyalamiku dan semua teman sekelas kami di sertai ucapan selamat yang formal. Hanya itu. Aku nggak tahu aku mengharapkan yang lebih atau tidak. Karena aku selalu mengenyahkan pikiranku segera ketika aku teringat lagi tentang Yamada. Aku hanya tahu kalau aku selalu mencuri pandang padanya. Dan hanya itu yang aku selalu lakukan tanpa meminta tatapan balasan.
Sampai hari ini, sudah setahun berselang, Yamada sama sekali tidak berusaha menghubungiku. Padahal, saat pesta perpisahan kelas kami di bulang Juni, aku meninggalkan alamat ku di Jakarta. Dan pada saat reuni tiga bulan yang lalu yang diadakan di gedung aula sekolah kami di Jepang, Yamada tidak ada. Aku sedih, kami sudah lama tidak bertemu. Tunggu dulu...apa hak ku ingin bertemu dengannya?
Ketika rumahku yang asri di dekat kampus sudah dekat, aku segera menhapus kenangan Yamada di memoriku yang terbatas ini dan segera menerima kenyataan. Aku memang pelupa. Aku takut jika setiap hari aku mengingatnya, semuanya akan aku lupakan suatu saat nanti. Aku tidak mau.
Namun ketika aku baru selangkah masuk, hendak meletakkan sepatuku di rak sepatu dekat pintu, bel rumahku berbunyi. Karena bel itu berbunyi terus dan aku belum sempat meletakkan sepatuku, aku akhirnya membuka pintu dengan tangan menenteng sepatu.
Plukk!
Sepatuku jatuh ketika aku melihat siapa yang bertamu.
“Hai, Kyoko!”
Aku tercekat, “Ya-yamada?”
Ya tuhan, nama yang selalu kusebut...

By : Yolanda Yoe

Sabtu, 02 April 2011

Cinta Itu Menyakitkan!


Kau pernah meninggalkanku, dan itu sakit buatku...
            Memang benar kata orang. Hidup ini tak adil. Kau sempurna. Sesempurna manusia yang pernah kukenal! Mulai dari materi, otak, dan tampang yang begitu mendukung untuk berbuat seenak jidatmu!
            Aku takkan mengingkari hal yang ketiga itu. Karena itu hal utama yang membuatku tertarik. Senyummu, tatapan matamu, hingga caramu berbicara...
            Tapi kini aku muak. Muak dengan segala yang berhubungan denganmu. Secara langsung maupun tak langsung. Aku benci itu semua.
            Ingin aku percaya sebaris kalimat yang membuatku memiliki secercah harapan bahwa aku masih memilikinya—cinta dan benci itu beda tipis!
            Dan setelah ‘benci’ berubah menjadi sebuah kata yang dulu selalu kau ucap padaku yaitu ‘cinta’—kupikir aku akan memilikimu lagi.
            Tapi itu tak pernah terjadi padaku. Dulu kau tatap aku seperti kau tatap dia. Dulu kau ucapkan kata manis itu padaku persis seperti yang kau ucapkan padanya setiap kali bertemunya. Dan, dulu kau tinggalkan aku, aku berharap kau juga lakukan itu padanya!
            Adil bukan?
            Aku tau, aku memang tak seharusnya berkata begitu. Tapi rasa terakhir yang kau tinggalkan untukku begitu terpatri di hatiku, sakit.
            Mungkin aku harus mencari pengganti seperti yang kau lakukan setelah satu jam kau meninggalkanku. Mungkin itu yang harus kulakukan, yah walaupun aku tau itu bukan yang terbaik.
Aku sadar aku masih ada rasa untukmu—dan kuharap kau juga masih memilikinya—sosokmu yang selalu tertangkap sudut mataku; tingkahmu yang selalu menarik perhatianku...
            Itu tanda bahwa aku masih memiliki rasa itu bukan? Tapi aku begitu ingin mengingkarinya. Kau pernah meninggalkanku, dan itu sakit buatku...
            Tapi aku rasa kau juga masih memilikinya. Kau tertangkap basah ketika sedang memperhatikan gerak-gerikku. Salah tingkahmu yang membuatku tersenyum geli—yang membuat jantungku berdegup kencang.
            Tapi luka tetaplah luka. Bekasnya bisa melukaiku kapan saja. Dan itu takkan pernah hilang meski kau mengobatinya dengan cara apapun!
            Kau bisa saja menarikku kembali kedalam kehidupanmu. Karena ini duniamu! Semuanya bisa terjadi asal kau mau! Aku percaya itu. Materi ada bersamamu.
            Tapi, aku rasa harapan itu takkan pernah terjadi. Itu bahkan hanya mimpiku di siang bolong sepulangnya dari sekolah. Kau takkan ada disini lagi—memberikan candaan khasmu hanya untuk membuatku tertawa keras.
            Takkan ada lagi dirimu yang tersenyum memandangku sambil menggandeng tanganku, mengisi ruang-ruang diantara jari-jariku. Karena kau...
            Karena kau ada disana, menggadeng tangannya, tersenyum, dan kemudian menyelipkan benda perak diantara jarinya. Suara riuh dari para tamu yang lain, tak mampu membuyarkan khayalanku.
            Andai...
            Andai aku yang disana. Berdiri dengan berbalut gaun panjang dari perancang ternama. Tersenyum menatapmu. Dan berjalan beriringan denganmu dengan jari yang terselip cincin perak.
           
            Aku pernah mencintaimu
            Dan itu bahagia buatku
            Kau pernah mencintaiku—walau sedetik.
            Itu cukup buatku...
            Tapi, kau pernah meninggalkanku
            Dan itu sakit buatku...
[Johana_Yoe]

Dia Bintang di Hatiku


Dia bilang, orang yang meninggal akan menjadi bintang. Dan dia bilang, bintang jatuh akan mengabulkan permohonan kita. Tapi dia bohong!
Pertemuan pertama kami di sebuah sebuah perpustakaan kota. Ia sedang mencari buku tentang ilmu perbintangan. Dan aku, novel roman tentunya.
Aku percaya, bintanglah yang mempertemukan kami. Bintang yang menyatukan kami. Dia yang bilang begitu padaku. Dan aku percaya padanya.
Kami sangat berbeda. Ia selalu asik dengan pemikiran-pemikirannya. Dengan kerjanya. Sedangkan aku? Aku selalu sibuk dengan gossip-gossip dan juga teman-temanku.
Yah, aku sadar, sebagai bagian hidup dari seorang Steven Moreno aku harus bisa sedikit lebih serius. Dan, kuperhatikan beberapa bulan ini—setelah kami jadian—ia selalu berusaha menyeimbangi kecerewetanku, ia berusaha bercanda denganku. Dan aku suka itu!
Satu hal yang aku tau pasti mengenai Steve. Orang tuanya bercerai ketika ia masih berumur lima tahun. Dan itu membuatnya minder. Apa lagi dengan adanya teman-teman SD-nya meledeknya sebagai anak yang dibuang.
Dia sangat percaya pada bintang. Yeah, kurasa aku juga bisa lebih mendekatkan diriku dengannya karena aku juga percaya ilmu pebintangan, lebih tepatnya Zodiak. Dan dari ramalan zodiakku, aku akan menemukan cinta sejatiku dalam waktu dekat ini.
Aku yakin, pasti dia.
Satu hal yang membuatku merasa sangat berharga. Beberapa bulan terakhir, ia mulai mencoba mengimbangi kecerewetanku. Ia mulai bisa menanggapi candaanku. Bahkan ia juga  sering mengerjaiku.
Suatu hari setelah ia berhasil keluar dari semua tugas-tugasnya, ia memperlihatkan padaku langit yang cerah dan dipenuhi kerlip bintang. Tak ada yang bisa membuatku mengalihkan perhatianku saat itu. Bahkan suaranya yang selalu membuat jantungku berdegup kencang.
“Setiap orang yang meninggal, ia aka tinggal disana...” Ia menunjuk salah satu bintang yang menurutku paling terang. “Dan bintang jatuh bisa mengabulkan permohonanmu.” Aku tersenyum.
Saat itu, kulihat secercah cahaya tertangkap sudut mataku, seketika cahaya itu memanjang dan kemudian menghilang. Kupejamkan mataku dan kuucapkan permohonanku.
Ia memalingkan wajah dan tersenyum melihatku. “Kau lihat, tadi?” Aku mengangguk. Kuharap ia juga mengucapkan permohonannya. Dan, semoga permohonanku dikabukan oleh bintang!
TTT
Mungkin kebahagiaan belum sepenuhnya berpihak padaku. Seminggu setelah acara bintang jatuh itu, aku mendapat kabar bahwa ia mengidap kenker darah. Hal itu sudah terjadi padanya sejak ia masih berumur belasan!
Bodohnya aku, sampai tidak mengetahuinya setelah hampir setengah tahun berhubungan dengannya. Semuanya kini sudah terlambat, dan penyesalan menyerbuku. Andai aku tau lebih awal, andai...andai...andai...
Bintang tidak mengabulkan permohonanku. Dia berbohong padaku. Aku tidak percaya lagi padanya!
Kuusap air mata yang membasahi pipiku. Secercah cahaya kembali tertangkap sudut mataku. Kali ini bukan bintang jatuh.
“Setiap orang yang meninggal akan menjadi bintang,”
Ya, aku tau. Kau bermaksud menunjukan dirimu. Ya, aku percaya. Aku percaya. Bintang adalah dirimu...
Dia bintang dihatiku.

Kau bintang dihatiku,
Terangi setiap langkahku...
[D’Massive]

TTT
“...bintang jatuh bisa mengabulkan permohonanmu.”
Secercah cahaya tertangkap sudut mataku, menarik perhatianku. Bintang jatuh!Kupejamkan mata segera, dan kuucapkan permohonanku.
“Andai ini tidak pernah berakhir,”
Ia menoleh dan tersenyum padaku. Andai ia juga mengucapkan permohonannya. Andai permohonanku terkabul. Bintang, kabulkanlah permohonan kami!
Aku memalingkan wajah untuk melihatnya, “Apa permohonanmu?” tanyaku. Ia hanya tersenyum.

“Semoga aku bisa menjadi bintang yang paling terang untuknya.”

[Johana_Yoe]