Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^
Tampilkan postingan dengan label Berbagai Rasa Dari CINTA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berbagai Rasa Dari CINTA. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Maret 2013

One Side Love


Biar embun tahu,
Biar kicau burung berseru
Ini cinta yang bersembunyi di balik kabut
Merayap di dalaman rumput,
Mencari yang tlah luput...

Karena saat hati telah terselimut,
Rasa ini kian tak bersudut
Sampai tak terpisahkan maut
Hanya aku yang kini melumut...


Dulu aku merayu,
Tapi kini semua hanya angin lalu
Jika mungkin kemarin dirasa perlu,
Tetapi sungguh, kini biarlah berlalu...

Kini cinta tlah keluar dari sarang
Menyanyikan aku genderang perang
Tuhan mohon, biar dia memandang!
Ini cinta telah usang!
Kini hanya ada aku yang malang,
Mengharap untuk bersambut...


Sat, 16/03/13
[apauw]

Minggu, 17 Februari 2013

Sang Penginspirasi


Sang Penginspirasi
Untuk seseorang yang telah menjadi inspirasiku...
Taukah kamu, bahwa aku telah memperhatikanmu sejak pertama kali kita masuk SMA? Bahwa aku memperhatikanmu lebih dari pelajaran apapun... Bahwa aku menginginkanmu lebih dari apapun?
            Sang Penginspirasiku, ini aku—seseorang yang telah mencintaimu lebih dari dua tahun. Ingat? Jawabnya singkat : ya. Tentu kau mengingatku bukan? Aku—Si gadis bodoh yang kekanakan.  Kita teman sekelas saat di kelas satu—kelas X-1.
            Aku ingat, betapa konyolnya aku dulu. Demi mendapat perhatianmu, aku melakukan berbagai hal. Mencoba mengajakmu berbicara, ribut dengan teman saat pelajaran, atau bahkan menjadikanmu sebagai bahan lawakan. Tetapi aku hanya mendapat senyuman maut itu.
            Tapi, itu cukup buatku.
            “Heii, tang! Coba deh tanya nyokap lo, lo dikasih nama ‘Bintang’ pasti karena loe gelap kan? hehehe.” aku setengah berteriak dari tempat dudukku. Hari itu aku menggodai temanku—Bintang yang sedang duduk di dekat dengan Si Inspirasi.  Sedikit banyak pastinya aku akan mendapat perhatiannya.
            “Kecut! Loe ngeledek gue?”                                                 
            “Nggak kok, gue cuma nanya. Abis kayaknya loe keberatan nama.”
            Sesisi kelas tertawa, menyetujui banyolanku karena Bintang memang hitam. Sepintas kulihat Si Inspirasi menoleh kearahku dan tersenyum. Aku tahu, ia menyetujuiku juga, sama seperti yang lain.
            Sang Penginspirasiku, kumohon, lihatlah aku—seseorang yang telah menunggumu sepanjang waktu. Menantimu di gerbang sekolah hanya agar kita dapat melewatinya bersama. Tetapi, jika kau telah mendahuluiku, aku akan berlari dibelakangmu...
            Aku cukup senang dengan hal itu. Karena dengan begitu, secara tidak langsung kita sudah pulang bersama bukan?
            Sang Penginspirasiku, jangan pergi, tetaplah disini, dan mendekatlah. Aku lelah mengejarmu. Kini, biarkan aku berhenti sejenak dan duduk menantimu
            Ingin aku mendapatimu menoleh dan menjemputku disini—di tengah jalan menuju impianku. Meski aku tau—sangat tau—itu tidak akan pernah terjadi.
Aku ingat, dulu saat pelajaran Bahasa Indonesia, saat kau membuat kalimat motivasi untukmu sendiri dan membacakannya di depan kelas, kau bilang bahwa ‘nothing impossible’ tapi, untuk yang satu ini, aku tau dan sangat yakin, bahwa ada sesuatu yang tidak mungkin—dirimu.
Sang Penginspirasiku, lihatkah kamu saat aku menunggumu di depan gerbang sekolah setiap paginya, hanya untuk melewatinya bersamamu? Setiap pagi, aku berangkat lebih pagi dari yang lainnya hanya untuk menunggumu disana. Karena hanya dengan begitu kita bisa berangkat sekolah bersama.
Dengan itu juga aku tau, kau akan sampai disekolah pukul tujuh kurang lima belas menit. Dan, secara tidak langsung juga, aku mengetahui kebiasaan-kebiasaanmu yang lainnya saat aku memperhatikanmu dari kejauhan.
“Pagiii...” aku mendapati diriku menyapanya dulu. Dia yang sedang berjalan melewati gerbang, menoleh kearahku.
Astaga, senyuman itu lagi!!
            “Pagi, classmate!
Aku cukup senang. Ya, setidaknya ia mengingatku sebagai teman sekelasnya... Ini sudah kemajuan yang sangat luar biasa untuk hubungan kami. ‘Kami’? Stop it, Pauw! Berhenti membayangkannya, karena dia tidak mungkin tergapai!

Sang Penginspirasiku, mengertikah kamu, bahwa rasa ini sulit untuk ditepiskan? Meski berbagai cara telah kulakukan untuk mengingkarinya. Tetapi selalu saja gagal. Karena hati ini telah menentukan pemiliknya.
Sang Penginspirasi... kaulah pemenang atas hatiku. Kau menawarkan pesona yang sulit untuk kutolak. Kau bagaikan matahari yang menghangatkan pagiku, kau seperti asupan gizi yang kubutuhkan, dan kau adalah inspirasiku.
Sang Penginspirasku, kaulah motivasiku untuk berangkat kesekolah. Kau adalah segala tenaga yang kupunya. Dan kau membuatku bahagia dengan ini semua, dengan cara-caramu menangkap basahku yang sedang memperhatikanmu.
            Sang Penginspirasiku... andai kau tau, kaulah yang telah mendorongku mencapai titik ini. Titik dimana aku akan menemukan masa depanku. Kau yang telah menggerakan jemari ini untuk mengukir kisah diantara kita. Karena kau adalah inspirasiku— begitu banyak dan selalu ada dalam otakku.
            Tapi, kini dimana dirimu? Aku lelah menantimu di pintu gerbang, aku lelah melihat punggungmu yang menjauh, dan aku lelah dengan segala cara yang kulakukan untuk mendapat perhatianmu. Aku muak. Aku ingin kau melihatku sebagai seorang wanita...
            Sang Penginspirasi, jemput aku. Aku tersesat dalam perjalananku menemukanmu. Aku ingin kau menemukanku disini yang tenggelam dalam pesonamu. Inspirasi, tak pernah berhenti kubertanya kapan penantian ini akan berakhir?
            Inspirasi, kau tak pernah tau aku selalu menunggu hari raya hanya untuk sekedar mengirimimu pesan. Kau juga tak pernah tau aku selalu mencari-cari alasan yang tak masuk akal hanya untuk mengirimu pesan. Dan bodohnya aku, aku selalu menunggumu mengirimiku pesan, meski itu hanya salah kirim atau pesan berantai. Aku tetap menunggu...
            Sampai akhirnya, hari itu aku memberanikan diri untuk mengrimimu pesan terlebih dahulu. Hari itu adalah hari ulang tahunmu.
            Happy birthday... wish you all the best ya!
            Thanks pauw :D
            Bisa dibilang aku lupa daratan. Aku melompat kegirangan, melupakan sekelilingku yang mungkin saja terganggu dengan sikapku itu.
            Kuambil ponselku, mengetik pesan untuk sahabatku.
            Hari ini ‘dia’ ulang tahun. Aku kirimi dia pesan. Setelah sekian lama, akhirnya dia bales, tapi cuma bilang ‘thanks pauw!’ T.T
            Sekitar lima menit kemudian ponselku kembali bergetar. Ada satu pesan masuk. Inspirasi!
            Lha? Salah toh? Mintanya apa?
            Aku yang lemah otak mencoba membaca kembali conversation kami di ponselku. Dan TERNYATA pesan singkat yang seharusnya aku kirim untuk sahabatku malah aku kirim untuknya.
            Aku yang belum bisa mengembalikan diri, memutuskan untuk membalasnya seperti ini :
            Lha iya, di ucapin kok cuma gitu balesannya J
            Hatiku ketar-ketir, takut ia mengetahui perasaanku. Tubuhku melemas saking terkejutnya. Tuhan... jangan biarkan dia tau perasaanku. Jangan sampai. Biarkan aku saja yang menanggung rasa ini.
            Beberapa saat kemudian, ponselku bergetar kembali, membangunkanku dari lamunanku tetangnya.
            Wkwkwk...wahh mencurigakan :p
            Tuhan, bolehkah aku sedikit berharap??

˟˟˟
            Setelah sekian lama berdiam diri, aku mulai menuang kisah-kisahku dalam organizerku. Karena takut akan kakak laki-lakiku yang suka mengobrak-abrik isi kamarku, aku samarkan diaryku dengan kumpulan-kumpulan cerpen. Salah satunya kisah ini, yang termasuk  isi diaryku yang terbaru.
Sang Penginspirasiku, mungkin aku gila dengan menulis kisah ini dan membiarkan ratusan bahkan jutaan orang mengetahui rasaku—yang kau sendiri tidak tau.  Aku sengaja tidak memberitahumu, karena awalnya kupikir, rasa ini hanya sesaat. Tapi nyatanya, rasa ini tertanam kuat dalam sini, dihatiku.
            Inspirasiku, satu hal yang kuyakini—aku mencintaimu. Bukan rasa yang dirasakan puluhan siswi lainnya, tapi ini rasa yang berbeda, rasa yang istimewa. Hanya dariku dan hanya untukmu. Inspirasiku, jangan biarkan rasa ini keluar dari tempatnya. Biarkan berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan diyakini semua orang.
            Inspirasi, tak pernah lelah kubertanya pada diriku sendiri— kapankah hubungan ini berubah menjadi suatu yang nyata? Aku lelah dengan segala asumsiku akan dirimu. Aku ingin nyata...
            “Aku lelah...biarkan aku berhenti untuk sejenak—menunggumu disini—yang takkan pernah menjemputku”
            Andai aku dapat menutup jurang itu dengan segala cara yang telah kulakukan ; andai kau benar-benar melihatku, andai aku bisa mengutarakannya ; dan andai kau membalas rasaku. Rangkaian kalimat itu bagai mantra yang selalu kuucap disetiap tidur malamku.
            Inspirasiku... aku lelah menyebut namamu disetiap doaku. Aku lelah mengharapkanmu disini. Aku lelah menunggumu. Dan, aku lelah menyebut namamu, karena kau tak pernah menoleh.
            Inspirasi, akankah ada akhir yang bahagia bagi kisah ini?
            Ketika aku melupakan segalanya—melupakan kodratku sebagai seorang wanita, dan mungkin juga rasa maluku sudah terputus sejak pertama kali aku mencintaimu, aku datang kehadapanmu kala itu—sore hari di sekolah yang sepi, dan  aku menyatakannya.
            Inspirasi, akankah cinta ini berlabuh pada dermaga yang indah?
            Meski aku tau, cinta tak mesti memiliki, tapi, ijinkan aku memilikinya...
            Aku berjalan mendekat ke ruang XII IPA3—kelas barumu. Samar-samar kudengar suara tawa didalam sana. Dan selangkah lagi, aku dapat melihatmu didalam sana. Tapi, bukan itu yang terjadi. Aku melihat ada orang lain disana—seorang gadis yang sedang bercanda denganmu dengan memegang buku Fisika dan duduk di seberangmu.
            Aku tutup daun pintu yang membatasiku dengan mereka. Sepintas, kulihat inspirasi tersenyum samar kepadaku.
            Inpirasi, kau benar, cinta tak mesti memiliki...


˟˟˟




Biodata Penulis :

Memiliki nama pena APAUW dan bernama asli MENSISKA JOHANA SUSWANTO. Gadis kelahiran Tegal, 27 april 1995 ini jatuh cinta pada dunia tulis-menulis sejak empat tahun yang lalu. Ia sangat menyukai dunia acting dan dapur. Dan ia bermimpi, masa depannya bisa seindah pelangi.

apauw dapat di hubungi di :                          
Facebook         : Mensiska Johana Suswanto
Twitter            : @missyoe2
            

Selasa, 11 September 2012

First Love Nothing Last Forever


cerpen ini, bukan cerpen terbaruku atau bahkan cerpen terbaikku. ini terbukti dengan gagalnya cerpen ini di salah satu lomba ^^

Dan, aku pikir ada baiknya jika aku share ke kalian semua.. biar aku tau kekuranganku ^^
So...
beri jejakmu yaa dengan LIKE atau COMMENT ^^
supaya aku tau kesalahanku...

Gamsahamninda~


First Love Nothing Last Forever...
Oleh : missyoe

Ini bukan yang pertama kalinya aku melihatnya... Lama-kelamaan tumbuh suatu suatu rasa yang membuat hatiku terasa hangat. Tetapi, terkadang merasa menyejukkan. Orang bilang, rasa ini cinta...
            Tak pernah terbesit di otakku, rasa ini akan jatuh kepada orang yang menurutku takkan pernah tergapai. Dia, adalah bintang yang takkan pernah kugapai.
            Aku, bagai bulan diantara bintang. Mereka memiliki sinarnya. Sedangkan aku? Aku hanya mengambil cahaya matahari dan berusaha menunjukkan diriku diantara kegelapan. Dan, aku takkan mampu bersanding dengan bintang!
           
YYY

            “Aku rasa sebaiknya kau ungkapkan rasamu itu kepadanya.” Nasihat Lolita ketika kami sedang duduk menikmati kopi kami di sebuah kafe langganan kami.
            “Hmm, aku rasa tidak semudah itu, Loli...” aku menyesap kopiku dalam-dalam. Cuaca sedang sangat dingin, memang paling pas untuk minum kopi.
            “Tapi dengan begitu kau akan merasa lebih baik, dan semuanya juga akan terasa lebih baik. Dan mungkin saja itu bisa mengubah persepsimu tentang cinta pertamamu, kalau kau tidak bisa menggapai “bintangmu” itu.”
            Diam-diam aku menyimpan baik-baik perkataan Loli dalam hati. Dan, yah, sedikit banyak aku sudah mengubah keputusanku. Ya, mungkin aku memang harus mengungkapkannya.
            Tanpa sadar aku menggebrak meja, “Aku pergi dulu.” Kataku sembari bangkit dari kursi dan menginggalkan Loli dan panggilan-panggilannya.

YYY

            Kakiku bergerak cepat menuju Alicia’s School—sebuah sekolah bertaraf internasional, berbasis komputerisasi, dan dengan seragam yang sangat disukai : bebas!
            Aku memperlambat kakiku ketika melewati kerumunan orang disekitar majalah dinding. Aku mengalihkan perhatianku ke papan hitam itu. Sebuah poster bergambar seorang pria sedang tersenyum memegang medali emas. Ya, itu dia, bintang dihatiku.
            Dan, “dia” juga alasanku kembali ke sekolah di hari yang sudah siang ini. Aku akan mengungkapkan rasaku ini. Mungkin ini memang ide tergila yang pernah terbesit di kepalaku. Tapi, kembali ke nasihat Loli, semuanya akan menjadi lebih baik. Meskipun aku tidak mendapatkan jawaban yang aku inginkan nantinya.
            Ya, sebaris kalimat itulah yang mendorongku berdiri di tengah lapangan, mencari sosoknya yang sebenarnya sangat eye catching.
            Dan, kemudian kulihat “dia” disana. Tersenyum menggandeng tangan—yang sudah jelas bukan tanganku—dengan begitu erat.
            Seketika itu aku tahu, aku telah kehilangan—walaupun sebenarnya aku memang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mendekatinya.

            Aku sadar, cinta ini, bagaikan dua garis sejajar yang tidak akan pernah menemukan titik untuk bertemu. Aku, takkan pernah bisa menggapai bintang. Tapi, jika saatnya tiba, akan kukepakkan sayapku untuk menggapai bintang.

YYY

            7 tahun kemudian...
            Ini kepulangan pertamaku setelah 7 tahun lulus SMA. Aku berniat mengunjungi Alicia’s School. Sekedar bernostalgia dengan masa lalu, dengan “bintang” dihatiku...
           
            Suasana sekitar AS tidak jauh berbeda dengan saat kutinggalkan. Aku menikmatinya, karena itu semua mengingtkanku akan masa-masa terindah, masa-masa dimana kau pertama merasakan perasaan...
            Aku tersentak kaget ketika seseorang keluar dari sebuah outlet dan melihat “bintang”ku baru saja keluar dari sana. Chris. Dia melihatku. Tidak. Lebih tepatnya dia menatapku. Sedetik kemudian dia menarik ujung bibirnya membentuk seutas senyum yang tidak pernah kulihat—setidaknya hanya untukku.
            “Kau alumni AS, bukan?”astaga, apa benar ia berbicara denganku—sesuatu yang bahkan tidak pernah bisa kuimpikan.
            “Sepertinya dulu aku pernah melihatmu. Katakan,  apa aku salah?” Ia tetap tidak meninggalkan senyumnya. Membuatku terdiam, menikmatinya. “Diam, berarti benar.” Ia memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri. Senyumnya semakin mengembang.
            Aku tersenyum. Dan, kalau aku tidak salah, itu membuatnya menjadi salah tingkah. Benarkah?
            Kemudian, semuanya berjalan begitu saja. Ia mengajakku ke AS yang memang sebenarnya adalah tujuanku. Dan, dari perjalanan singkat itulah aku tahu bahwa saat ini dia sudah menjadi arsitek. Sebuah kebanggaan muncul dibenakku karena mencitai seseorang yang begitu hebat.
            Dan, dia juga berkata betapa seringnya ia melihatku sedang menulis di taman. Aku senang, ternyata ia memperhatikanku. Ataukah, ini hanya perasaanku saja? Bolehkan aku berharap?

YYY

            Esoknya aku bertemu dengan Loli di sebuah kafe langganan kami saat SMA dulu. Aku benar-benar tidak menyangka, dia sekarang adalah pemilik kafe itu. Ia mengatakan betapa sering ia kesana, bahkan setelah kami lulus. Dan, akhirnya ia memutuskan untuk membelinya
            Aku memesan cukup banyak setelah ia mengatakan akan memeberi gratis atas pesanan-pesananku.


            “Hey, kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan!” Ungkapnya menyadari aku memanfaatkan kesempatan emas ini.
            “Oh, ayolah... Anggap saja ini adalah hadiah untukku karena sudah menjadi penulis. Hahahahaha....” aku tertawa manyadari kejahilanku.
            “Yaa, kau sudah menjadi penulis? Pantas saja, aku sepertinya pernah melihat artikelmu. Tapi tidak aku baca, karena aku pikit itu bukan dirimu.” Ia berkata menggebu-gebu. “Hey, kau harus mentraktirku!”
            “Baiklah...baiklah...lain kali. Tapi yang pasti bukan disini.”
            “Ah tidak! Aku hanya bercanda. Lupakan...” tiba-tiba ia tersenyum dan sedetik kemudian memekik, membuatku kaget dan beberapa pelanggannya menatap kami heran.
            Setalah memberi isyarat pada meraka bahwa kami baik-baik saja, ia mulai bercerita. “Kau tau, sekitar seminggu yang lalu aku bertemu dengan “bintang”mu itu.” Katanya menggebu-gebu.
            Aku hanya tersenyum geli mengingat bahwa baru kemarin aku bertemu denannya. “Kemarin—baru saja kemarin—aku bertemu dengannya. Kami bertemu di ujung jalan sana,” aku menunjuk ujung jalan di luar sana.
            “Dia mengajakku ke AS. Kami menghabiskan waktu bersama selama disana. “ aku berhenti dan tersenyum dan mengingat hari itu.
            Loli tersenyum mendengar penjelasanku. “Aku rasa hari itu harus diulang.” Dia tersenyum penuh arti.

YYY

            Aku rasa ini memang yang aku tunggu-tunggu saat kami bertemu untuk yang kedua kalinya beberapa hari lalu dan ia mengajakku untuk bertemu lagi. Dan, terjadilah hari ini.
            Kami duduk disalah satu meja di sebuah kafe di tengah kota. Desainya minimalis dengan bunga lili sebagai dasarnya. Sebuah lagu dari Cho Kyuhyun-Seven years menemani kami.
            “Ini mungkin sesuatu yang mendadak. Tidak. Ralat, maksudku sangat mendadak. Dan mengejutkan, karena aku juga tidak pernah memikirkan ini sebelumnya,” ia menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, tingkah lakunya itu terkesan salah tingkah dimataku. Tapi, benarkah seorang bintang dari AS bisa salah tingkah di depan seseorang sepertiku?
            Aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan, sehingga aku memilih untuk diam. Sementara ia terlihat bingung mencari kata yang tepat untuk mengatakan sesuatu yang sepertinya membuatnya kesulitan.
            “Hm, aku rasa aku ingin memulai sesuatu yang lebih jauh dengamu. Aku ingin kita bisa bersama...” ia berhenti sejenak. “Ah, aduh, aku bukan orang yang pintar merangkai kata sepertimu.”
            Mukanya memerah, matanya tak fokus. “Aku rasa kau tau maksudku.” Dia mulai menatapku. Aku menunduk.
            Tidak. Ini bukan bintang yang bersinar itu. Ini bukan Chris yang aku suka. Karena Chris yang aku suka, adalah seseorang yang bahkan tidak mengatahui namaku. Tidak akan duduk didepanku dan bahkan salah tingkah karenaku.
            Tidak. Entah mengapa aku tidak merasakan getaran-getaran halus ditubuhku. Tidak ada reaksi apapun untuk merespon perkatannya. Dan, aku sadar, ini bukan 7 tahun yang lalu saat aku benar-benar menyukainya—bahkan mencintainya. Ini adalah 7 tahun setelahnya. Saat semuanya sudah berlalu, dan aku terbiasa tanpanya.
            Aku mengangkat kepalaku. Kepalaku terasa pening. Matanya menatap lurus kemataku. “Emm, hanya satu kata yang aku katakan, jadi dengarkan baik-baik.”
            “Hari ini tidaklah sama dengan tujuh tahun yang lalu...” aku tak berani menatap matanya.
 Mendengar perkataanku, ia tertawa, sebelah tangannya menutupi sebagian wajahnya yang memerah. Membuatku bingung setengah mati mengingat baru saja aku menolaknya.
            “Kau tau, siapa sutradara dibalik semua ini?” aku tak memahami ucapannya. “Lolita. Loli, dia sahabatmu kan? Sekitar dua minggu yang lalu kami bertemu. Dia mengatakan semuanya padaku.” Lagi, ia tersenyum pahit.
            “Semuanya?”
            “Ya, semuanya. Tentang perasaanmu, tetang mimpi-mimpimu.”
            “Ta...tapi, apa maksudnya?” aku mulai emosi. Apa maksudnya ini? Mengapa Loli melakukan ini padaku?
            “Tunggu, kau jangan salah paham. Ia hanya ingin kau sadar, bahwa saat ini tidak sama dengan tujuh tahun yang lalu, persis sepeti jawabanmu. Dan kurasa caranya itu benar-benar tepat.” Ia ternyum sangat manis.

            “Yah, maafkan aku kalau caraku membuatmu tak suka.” Kata Loli saat kami bertemu setelah acara ‘penembakkan’ itu. Kami duduk di kafe miliknya.
            “Tidak, tidak. Kau benar-benar hebat. Kalau kau tidak melakukan ini, kurasa aku akan terbayang-bayang olehnya seumur hidupku.Tapi, sejujurnya aku sedikit tidak enak pada Chris.”
Ia tersenyum. “Aku hanya membantumu keluar dari cinta pertamamu yang terus membayangimu. Hey, kurasa itu karena kau tidak pernah bertemu degnan pria yang lebih dari Chris. Dan masalah Chris, dia sendiri yang menawakan dirinya untuk membantu.”
            “Ah, benarkah? Aku lega mendengarnya. Dan, Loli, kau tahu? Aku tersadar akan satu hal,” Loli menatapku seakan ingin tahu. “...bahwa first love nothing last forever.”

YYY
           
           

Jumat, 29 April 2011

Cinta itu Memuakkan!


Aku muak dengan semua yang ia lakukan padaku.
Itu berawal setahun yang lalu ketika aku memulai tahun pertamaku di universitas. Ia yang menjadi seniorku, mungkin merasa hebat, sehingga bisa melakukkan apa saja, sesuka hatinya.
Ia berusaha menarikku dari duniaku dan memonopoliku. Aku jadi tidak bisa bermain  dengan teman-temanku Aku tau, mereka pasti marah.Tapi, mau bagaimana lagi? Kurasa pacar lebih penting daripada teman.
 Cukup lama aku menjalin kasih dengannya, satu tahun. Bukan waktu yang singkat menurutku. Tapi, lama-kelamaan dia mulai menjauh. Cenderung cuek. Dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Sedangkan aku? Aku sendirian disini.
Sudah lama ini aku ditinggalkan teman-temanku, karena aku yang meninggalkan merka duluan. Aku tau, aku salah. Andai waktu bisa diputar, aku mau teman-temanku kembali padaku seperti dulu.
Tak ada lagi yang kuinginkan selain teman-temanku kembali, sekarang. Tapi bukan seperti ini yang kuinginkan.
Tapi, tiba-tiba, kedokmu terbongkar begitu saja. Dan kau tak meminta maaf karena itu. Aku berharap kau mengatakan maaf, sekali saja. Dan aku akan memaafkanmu, meski kau takkan kembali padaku—seperti yang kuinginkan.
Tapi, kau malah menghilang dibalik kerumunan orang banyak, dan tak pernah menunjukkan batang hidungmu lagi. Aku sendirian lagi disini. Aku benar-benar membutuhkan teman.
Sekarang mereka hanya disana, menatapku iba mengingat aku hanya menjadi bahan taruhan yang hanya seharga lima ratus ribu. Hanya sepert itu kah aku dimata mereka?
Aku takkan menyalahkan teman-temanku yang kini menatapku iba. Aku sendiri yang masuk ke permainan itu dan meninggalkan mereka. Ini bisa jadi hukuman buatku.
Aku juga tak mau menyalahkanmu. Tidak ada yang salah disini, hanya saja aku yang terlalu bodoh sehingga bisa masuk kedalam permainan konyolmu itu.
Kini, tiba-tiba kau datang kehadapanku, bersujud meminta maaf dan mengemis cintaku. Beuh! Muak aku melihat mukamu itu. Dengan harga berapa lagi kau taruhkan aku dengan teman-temanmu?
Maaf, aku takkan jatuh kedalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Aku tak mau jadi mainanmu untuk kedua kalinya. Aku muak!


Johana Yoe

Sabtu, 02 April 2011

Cinta Itu Menyakitkan!


Kau pernah meninggalkanku, dan itu sakit buatku...
            Memang benar kata orang. Hidup ini tak adil. Kau sempurna. Sesempurna manusia yang pernah kukenal! Mulai dari materi, otak, dan tampang yang begitu mendukung untuk berbuat seenak jidatmu!
            Aku takkan mengingkari hal yang ketiga itu. Karena itu hal utama yang membuatku tertarik. Senyummu, tatapan matamu, hingga caramu berbicara...
            Tapi kini aku muak. Muak dengan segala yang berhubungan denganmu. Secara langsung maupun tak langsung. Aku benci itu semua.
            Ingin aku percaya sebaris kalimat yang membuatku memiliki secercah harapan bahwa aku masih memilikinya—cinta dan benci itu beda tipis!
            Dan setelah ‘benci’ berubah menjadi sebuah kata yang dulu selalu kau ucap padaku yaitu ‘cinta’—kupikir aku akan memilikimu lagi.
            Tapi itu tak pernah terjadi padaku. Dulu kau tatap aku seperti kau tatap dia. Dulu kau ucapkan kata manis itu padaku persis seperti yang kau ucapkan padanya setiap kali bertemunya. Dan, dulu kau tinggalkan aku, aku berharap kau juga lakukan itu padanya!
            Adil bukan?
            Aku tau, aku memang tak seharusnya berkata begitu. Tapi rasa terakhir yang kau tinggalkan untukku begitu terpatri di hatiku, sakit.
            Mungkin aku harus mencari pengganti seperti yang kau lakukan setelah satu jam kau meninggalkanku. Mungkin itu yang harus kulakukan, yah walaupun aku tau itu bukan yang terbaik.
Aku sadar aku masih ada rasa untukmu—dan kuharap kau juga masih memilikinya—sosokmu yang selalu tertangkap sudut mataku; tingkahmu yang selalu menarik perhatianku...
            Itu tanda bahwa aku masih memiliki rasa itu bukan? Tapi aku begitu ingin mengingkarinya. Kau pernah meninggalkanku, dan itu sakit buatku...
            Tapi aku rasa kau juga masih memilikinya. Kau tertangkap basah ketika sedang memperhatikan gerak-gerikku. Salah tingkahmu yang membuatku tersenyum geli—yang membuat jantungku berdegup kencang.
            Tapi luka tetaplah luka. Bekasnya bisa melukaiku kapan saja. Dan itu takkan pernah hilang meski kau mengobatinya dengan cara apapun!
            Kau bisa saja menarikku kembali kedalam kehidupanmu. Karena ini duniamu! Semuanya bisa terjadi asal kau mau! Aku percaya itu. Materi ada bersamamu.
            Tapi, aku rasa harapan itu takkan pernah terjadi. Itu bahkan hanya mimpiku di siang bolong sepulangnya dari sekolah. Kau takkan ada disini lagi—memberikan candaan khasmu hanya untuk membuatku tertawa keras.
            Takkan ada lagi dirimu yang tersenyum memandangku sambil menggandeng tanganku, mengisi ruang-ruang diantara jari-jariku. Karena kau...
            Karena kau ada disana, menggadeng tangannya, tersenyum, dan kemudian menyelipkan benda perak diantara jarinya. Suara riuh dari para tamu yang lain, tak mampu membuyarkan khayalanku.
            Andai...
            Andai aku yang disana. Berdiri dengan berbalut gaun panjang dari perancang ternama. Tersenyum menatapmu. Dan berjalan beriringan denganmu dengan jari yang terselip cincin perak.
           
            Aku pernah mencintaimu
            Dan itu bahagia buatku
            Kau pernah mencintaiku—walau sedetik.
            Itu cukup buatku...
            Tapi, kau pernah meninggalkanku
            Dan itu sakit buatku...
[Johana_Yoe]