Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Selasa, 11 September 2012

First Love Nothing Last Forever


cerpen ini, bukan cerpen terbaruku atau bahkan cerpen terbaikku. ini terbukti dengan gagalnya cerpen ini di salah satu lomba ^^

Dan, aku pikir ada baiknya jika aku share ke kalian semua.. biar aku tau kekuranganku ^^
So...
beri jejakmu yaa dengan LIKE atau COMMENT ^^
supaya aku tau kesalahanku...

Gamsahamninda~


First Love Nothing Last Forever...
Oleh : missyoe

Ini bukan yang pertama kalinya aku melihatnya... Lama-kelamaan tumbuh suatu suatu rasa yang membuat hatiku terasa hangat. Tetapi, terkadang merasa menyejukkan. Orang bilang, rasa ini cinta...
            Tak pernah terbesit di otakku, rasa ini akan jatuh kepada orang yang menurutku takkan pernah tergapai. Dia, adalah bintang yang takkan pernah kugapai.
            Aku, bagai bulan diantara bintang. Mereka memiliki sinarnya. Sedangkan aku? Aku hanya mengambil cahaya matahari dan berusaha menunjukkan diriku diantara kegelapan. Dan, aku takkan mampu bersanding dengan bintang!
           
YYY

            “Aku rasa sebaiknya kau ungkapkan rasamu itu kepadanya.” Nasihat Lolita ketika kami sedang duduk menikmati kopi kami di sebuah kafe langganan kami.
            “Hmm, aku rasa tidak semudah itu, Loli...” aku menyesap kopiku dalam-dalam. Cuaca sedang sangat dingin, memang paling pas untuk minum kopi.
            “Tapi dengan begitu kau akan merasa lebih baik, dan semuanya juga akan terasa lebih baik. Dan mungkin saja itu bisa mengubah persepsimu tentang cinta pertamamu, kalau kau tidak bisa menggapai “bintangmu” itu.”
            Diam-diam aku menyimpan baik-baik perkataan Loli dalam hati. Dan, yah, sedikit banyak aku sudah mengubah keputusanku. Ya, mungkin aku memang harus mengungkapkannya.
            Tanpa sadar aku menggebrak meja, “Aku pergi dulu.” Kataku sembari bangkit dari kursi dan menginggalkan Loli dan panggilan-panggilannya.

YYY

            Kakiku bergerak cepat menuju Alicia’s School—sebuah sekolah bertaraf internasional, berbasis komputerisasi, dan dengan seragam yang sangat disukai : bebas!
            Aku memperlambat kakiku ketika melewati kerumunan orang disekitar majalah dinding. Aku mengalihkan perhatianku ke papan hitam itu. Sebuah poster bergambar seorang pria sedang tersenyum memegang medali emas. Ya, itu dia, bintang dihatiku.
            Dan, “dia” juga alasanku kembali ke sekolah di hari yang sudah siang ini. Aku akan mengungkapkan rasaku ini. Mungkin ini memang ide tergila yang pernah terbesit di kepalaku. Tapi, kembali ke nasihat Loli, semuanya akan menjadi lebih baik. Meskipun aku tidak mendapatkan jawaban yang aku inginkan nantinya.
            Ya, sebaris kalimat itulah yang mendorongku berdiri di tengah lapangan, mencari sosoknya yang sebenarnya sangat eye catching.
            Dan, kemudian kulihat “dia” disana. Tersenyum menggandeng tangan—yang sudah jelas bukan tanganku—dengan begitu erat.
            Seketika itu aku tahu, aku telah kehilangan—walaupun sebenarnya aku memang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mendekatinya.

            Aku sadar, cinta ini, bagaikan dua garis sejajar yang tidak akan pernah menemukan titik untuk bertemu. Aku, takkan pernah bisa menggapai bintang. Tapi, jika saatnya tiba, akan kukepakkan sayapku untuk menggapai bintang.

YYY

            7 tahun kemudian...
            Ini kepulangan pertamaku setelah 7 tahun lulus SMA. Aku berniat mengunjungi Alicia’s School. Sekedar bernostalgia dengan masa lalu, dengan “bintang” dihatiku...
           
            Suasana sekitar AS tidak jauh berbeda dengan saat kutinggalkan. Aku menikmatinya, karena itu semua mengingtkanku akan masa-masa terindah, masa-masa dimana kau pertama merasakan perasaan...
            Aku tersentak kaget ketika seseorang keluar dari sebuah outlet dan melihat “bintang”ku baru saja keluar dari sana. Chris. Dia melihatku. Tidak. Lebih tepatnya dia menatapku. Sedetik kemudian dia menarik ujung bibirnya membentuk seutas senyum yang tidak pernah kulihat—setidaknya hanya untukku.
            “Kau alumni AS, bukan?”astaga, apa benar ia berbicara denganku—sesuatu yang bahkan tidak pernah bisa kuimpikan.
            “Sepertinya dulu aku pernah melihatmu. Katakan,  apa aku salah?” Ia tetap tidak meninggalkan senyumnya. Membuatku terdiam, menikmatinya. “Diam, berarti benar.” Ia memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri. Senyumnya semakin mengembang.
            Aku tersenyum. Dan, kalau aku tidak salah, itu membuatnya menjadi salah tingkah. Benarkah?
            Kemudian, semuanya berjalan begitu saja. Ia mengajakku ke AS yang memang sebenarnya adalah tujuanku. Dan, dari perjalanan singkat itulah aku tahu bahwa saat ini dia sudah menjadi arsitek. Sebuah kebanggaan muncul dibenakku karena mencitai seseorang yang begitu hebat.
            Dan, dia juga berkata betapa seringnya ia melihatku sedang menulis di taman. Aku senang, ternyata ia memperhatikanku. Ataukah, ini hanya perasaanku saja? Bolehkan aku berharap?

YYY

            Esoknya aku bertemu dengan Loli di sebuah kafe langganan kami saat SMA dulu. Aku benar-benar tidak menyangka, dia sekarang adalah pemilik kafe itu. Ia mengatakan betapa sering ia kesana, bahkan setelah kami lulus. Dan, akhirnya ia memutuskan untuk membelinya
            Aku memesan cukup banyak setelah ia mengatakan akan memeberi gratis atas pesanan-pesananku.


            “Hey, kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan!” Ungkapnya menyadari aku memanfaatkan kesempatan emas ini.
            “Oh, ayolah... Anggap saja ini adalah hadiah untukku karena sudah menjadi penulis. Hahahahaha....” aku tertawa manyadari kejahilanku.
            “Yaa, kau sudah menjadi penulis? Pantas saja, aku sepertinya pernah melihat artikelmu. Tapi tidak aku baca, karena aku pikit itu bukan dirimu.” Ia berkata menggebu-gebu. “Hey, kau harus mentraktirku!”
            “Baiklah...baiklah...lain kali. Tapi yang pasti bukan disini.”
            “Ah tidak! Aku hanya bercanda. Lupakan...” tiba-tiba ia tersenyum dan sedetik kemudian memekik, membuatku kaget dan beberapa pelanggannya menatap kami heran.
            Setalah memberi isyarat pada meraka bahwa kami baik-baik saja, ia mulai bercerita. “Kau tau, sekitar seminggu yang lalu aku bertemu dengan “bintang”mu itu.” Katanya menggebu-gebu.
            Aku hanya tersenyum geli mengingat bahwa baru kemarin aku bertemu denannya. “Kemarin—baru saja kemarin—aku bertemu dengannya. Kami bertemu di ujung jalan sana,” aku menunjuk ujung jalan di luar sana.
            “Dia mengajakku ke AS. Kami menghabiskan waktu bersama selama disana. “ aku berhenti dan tersenyum dan mengingat hari itu.
            Loli tersenyum mendengar penjelasanku. “Aku rasa hari itu harus diulang.” Dia tersenyum penuh arti.

YYY

            Aku rasa ini memang yang aku tunggu-tunggu saat kami bertemu untuk yang kedua kalinya beberapa hari lalu dan ia mengajakku untuk bertemu lagi. Dan, terjadilah hari ini.
            Kami duduk disalah satu meja di sebuah kafe di tengah kota. Desainya minimalis dengan bunga lili sebagai dasarnya. Sebuah lagu dari Cho Kyuhyun-Seven years menemani kami.
            “Ini mungkin sesuatu yang mendadak. Tidak. Ralat, maksudku sangat mendadak. Dan mengejutkan, karena aku juga tidak pernah memikirkan ini sebelumnya,” ia menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, tingkah lakunya itu terkesan salah tingkah dimataku. Tapi, benarkah seorang bintang dari AS bisa salah tingkah di depan seseorang sepertiku?
            Aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan, sehingga aku memilih untuk diam. Sementara ia terlihat bingung mencari kata yang tepat untuk mengatakan sesuatu yang sepertinya membuatnya kesulitan.
            “Hm, aku rasa aku ingin memulai sesuatu yang lebih jauh dengamu. Aku ingin kita bisa bersama...” ia berhenti sejenak. “Ah, aduh, aku bukan orang yang pintar merangkai kata sepertimu.”
            Mukanya memerah, matanya tak fokus. “Aku rasa kau tau maksudku.” Dia mulai menatapku. Aku menunduk.
            Tidak. Ini bukan bintang yang bersinar itu. Ini bukan Chris yang aku suka. Karena Chris yang aku suka, adalah seseorang yang bahkan tidak mengatahui namaku. Tidak akan duduk didepanku dan bahkan salah tingkah karenaku.
            Tidak. Entah mengapa aku tidak merasakan getaran-getaran halus ditubuhku. Tidak ada reaksi apapun untuk merespon perkatannya. Dan, aku sadar, ini bukan 7 tahun yang lalu saat aku benar-benar menyukainya—bahkan mencintainya. Ini adalah 7 tahun setelahnya. Saat semuanya sudah berlalu, dan aku terbiasa tanpanya.
            Aku mengangkat kepalaku. Kepalaku terasa pening. Matanya menatap lurus kemataku. “Emm, hanya satu kata yang aku katakan, jadi dengarkan baik-baik.”
            “Hari ini tidaklah sama dengan tujuh tahun yang lalu...” aku tak berani menatap matanya.
 Mendengar perkataanku, ia tertawa, sebelah tangannya menutupi sebagian wajahnya yang memerah. Membuatku bingung setengah mati mengingat baru saja aku menolaknya.
            “Kau tau, siapa sutradara dibalik semua ini?” aku tak memahami ucapannya. “Lolita. Loli, dia sahabatmu kan? Sekitar dua minggu yang lalu kami bertemu. Dia mengatakan semuanya padaku.” Lagi, ia tersenyum pahit.
            “Semuanya?”
            “Ya, semuanya. Tentang perasaanmu, tetang mimpi-mimpimu.”
            “Ta...tapi, apa maksudnya?” aku mulai emosi. Apa maksudnya ini? Mengapa Loli melakukan ini padaku?
            “Tunggu, kau jangan salah paham. Ia hanya ingin kau sadar, bahwa saat ini tidak sama dengan tujuh tahun yang lalu, persis sepeti jawabanmu. Dan kurasa caranya itu benar-benar tepat.” Ia ternyum sangat manis.

            “Yah, maafkan aku kalau caraku membuatmu tak suka.” Kata Loli saat kami bertemu setelah acara ‘penembakkan’ itu. Kami duduk di kafe miliknya.
            “Tidak, tidak. Kau benar-benar hebat. Kalau kau tidak melakukan ini, kurasa aku akan terbayang-bayang olehnya seumur hidupku.Tapi, sejujurnya aku sedikit tidak enak pada Chris.”
Ia tersenyum. “Aku hanya membantumu keluar dari cinta pertamamu yang terus membayangimu. Hey, kurasa itu karena kau tidak pernah bertemu degnan pria yang lebih dari Chris. Dan masalah Chris, dia sendiri yang menawakan dirinya untuk membantu.”
            “Ah, benarkah? Aku lega mendengarnya. Dan, Loli, kau tahu? Aku tersadar akan satu hal,” Loli menatapku seakan ingin tahu. “...bahwa first love nothing last forever.”

YYY