Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Jumat, 30 Desember 2011

Welcome Year of The Dragon! ^^

yeah 31-12-2011

Sudah saatnya aku mengatakan...

"WELCOME YEAR OF THE DRAGON...!"

Selamat bagi yang Shio Naga. Ini tahunmu...! ^^
Seperti biasa, pergantian tahun kali ini, aku tidak merencanakan suatu apapun. Aku tekankan, seperti BIASA! Hahahaha... Karena aku memang tidak pernah merayakan New Year sebelumnya.

Sebenarnya aku mendapat undangan dari Vihara Metta Jaya Tegal untuk merayakan pergantian tahun bersama-sama di Vihara...
Tapi, kau tau, yang namanya perayaan Pergatian Tahun itu pasti tengah malam. Dan kau tahu? Aku benci harus tidur malam, karena kalau aku sudah telat tidur satu menit saja aku tidak akan bisa tidur, dan itu menyiksaku. (Lebay! Please, deh! Uhh!)

Makanya, sampai sekarang, aku tidak pernah melihat Fireworks secara langsung. Huhhh! Benar-benar memalukan. Aku selalu melihatnya di berita esok harinya... >.<

Sekarang, aku pikir, aku sudah besar. Mungkin tak apa-apa kalu aku pergi keluar dan bergabung dengan teman-teman seiman... Tapiiiiiiii kembali kepadaku! Aku harus membantu Mamaku di rumah. Ini malam tahun baru. Pastinya rumahku akan ramai. (Perlu kalian tau, Mamaku punya usaha rumah makan...)

Aku ingin sekali mengajak mamaku, seusai bekerja pastinya, untuk pergi ke Vihara. Tapi, itu lagi-lagi tidak mungkin! Kenapa? Karena tidak ada orang y ang akan mengantarkan kami kesana. Kakak laki-lakiku, satu-satunya laki-laki di keluarga kami, dan satu-satunya orang yang bisa megnendarai mobil BEKERJA!)

Dengan beraaaaaaaaattttt hati aku menyambut pergantian tahun di rumah saja. Tapi, it's Okay! Dunia nggak akan runtuh karena aku melewatkan malam pergantian tahun! Hahahaha.... ^^

^.<




Segenap keluarga besarku mengucapkan selamat tahun barrrrruuuuuuuu!!! ^^
Hahahaha...  ^.<

[Johana Yoe]




Sabtu, 03 Desember 2011

Playgirl VS Playboy


Love. What is love? Why we called it ‘love’? Why not ‘beautiful’ or ‘ulgy’? Sometimes, my mind never get the answer for my own questions. Is it too hard to find the answer? Yes is it...
                And now, I am in position where I am not believe in such a thing like that. I never trust in someone like I trust you. I really love you, before... But, why you betray me?
                You said to me that you always love me, ‘till forever. You won’t made me broke up. But, looke what you have done. You made a tsunami inside. Aarrgghhh! You can driving me insane!
                In the mirror, I look myself. I am not ugly and I have a baby face, and also I haven’t an agne in my face. I think is enough to get a ‘good-looking’ boy out there. Yeah, it’s time to remove you from my heart, mind and also my life! Good bye silly boy.
                Next day, I am prepare to go to my new school. Did you know that I am in senior high school now? Ahh, it’s really unbelieveable! Since a week ago, I have planned to get a silly cute boy in the first day. I will put my all energy to showing my inner beauty.
                Successfully! I shouted in my self. It is ten o’clock when I see a boy like in my dream : Cute, tall, good-looking, have a enchanted smile and a big wallet in his pocket—I mean money. My charming prince!
                He approach me with his smile and gently. Ahh, he’s really seize my attention.
                “Hi!” He speak with his heaven voice.
                “Hi!”
                “Are you are a new student? Nice to meet you.”
                “Yeah, nice to meet you, too. But, I am not the only one.” I look at my new friends around me. He smile like a children. It’s so funny.
                “I know. But, you are the most interest.” His face turn red.
                “Hahahaha you are too honest.” I said.
                “May I know your name, princess?”
                “Uhm, you are really a philanderer!”
                “So?”
                “Okay, my name is Lala. And you?”
                “Lalala...la..lala...” He play a melody. And he say, “Nice name! My name is Alice.”
                “Thank you. By the way, your name is Alice? A-L-I-C-E?” I spell his name clearly.
                “Yeah, you can laugh as loud as you want!” He shy with his name.
                I stop to laugh quickly. “Sorry...”
                “No problem...” He look enjoy with my reaction. Uhm, maybe he is a good boy.
                “My moomy named me ‘Alice’ because she really want a pretty daughter in her home. But, lucky is not in her side. And she name me like a girl.”
                “Nice story, nice mother. I thought your mother is a nice mom.”
                “You want to meet her?”
                It’s too fast, I think. But, I don’t want to dissapoint his heart. “Next time, maybe.”
                With a enchanted smile, he leave me when the bell is ringing.
                In the next day, I see he tempt my classmate, Andrea. He too cool to get my friend’s attention. As qiuckly as possible, Andrea fall in love with him. I know it and won’t be sick because of that problem. I can get another silly cute boy out there. Don’t call me ‘Lala’ if I can’t get what I want!
                5 minutes later, with my slanting eyes, I look him—the next charming prince who wanna make me happy with his money. And I’ll playing with his heart!

Si'am


Tempo hari, Ibu pernah bilang kalau segala sesuatu yang di paksakan itu tidak akan baik hasilnya. Saat itu aku masih kecil dan hanya bisa mengiyakannya. Tapi, kini, aku seakan baru teringat setelah lama memori itu terpendam. Aku meyesal telat sekali memahami perkataan Ibu. Sekarang, aku harus bagaimana terhadap hubunganku dengan Si’am?
                Si’am cowok yang baik, aku tahu itu jauh sebelum kita dekat seperti sekarang ini. Dia anak kedua dari dua bersaudara alias anak bungsu. Tapi, sifatnya sama sekali tidak manja, mungkin karena di cowok. Gerak-geriknya cenderung halus dan sopan terhadap perempuan. Ya, dia memang anak yang sayang pada Ibunya.
                Tapi, apa kriteria ‘baik-baik’ bisa membawa hubungan ini semulus dugaanku? Semakin lama hubungan kami tampak hambar. Kita tidak pernah bertengkar seperti pasangan lain sejak kami berhubungan selama 5 bulan. Dia selalu mengalah padaku. Yahh, bukannya aku mengharapkan sebuah pertengkaran. Tapi, dia tidak pernah mengungkapkan keinginannya padaku. Aku takut barangkali selama 5 bulan ini dia terpaksa menjalani hubungan ini denganku. Aku takut, dia merasa tertekan dan tidak bebas.
                Di sisi lain, aku juga tidak 100 % benar dalam hubungan ini. Aku tidak sepenuhnya suka padanya. Karena selama ini persahabatan kami baik-baik saja, makanya ketika dia mengajakku memulai ke sesuatu yang lebih serius aku mengiyakannya. Tapi, siapa sangka bukannya hubungan kita semakin baik, yang ada hanya kekikukkan.
                Aku paham sekarang. Perasaanku pada Si’am selama itu hanya paksaan. Karena aku tidak memiliki rasa lain selain sebagai sahabat padanya. Tapi, dalam 5 bulan itu, aku selalu mencoba untuk menyukainya. Pepetah mengatakan : “Witing tresno jalaran saka kulino.” Tapi, ternyata pepatah itu tidak berlaku padaku.
                Aku beranikan bertanya pada Si’am. “Am. Perasaan kamu ke aku gimana sih sebenarnya? Bukanya apa, tapi aku hanya ingin kita lebih terbuka terhadap perasaan kita masing-masing.” Aku tersenyum padanya. Kalau aku pasang tampang marah, atau tegang atau kaku, aku takut dia salah paham.
                “Ehm. Gimana ya?” Si’am tersenyum sambil melihat kearahku. Tapi, pandangannya menerawang, mungkin lagi mencari jawaban yang pas. Apa pertanyaanku begitu sulit ya? “Aku menganggap kamu sudah seperti tanggung jawab aku. Aku selalu memikirkanmu di waktu senggangku. Dan setiap itu, aku merasa... tenang? Senang? Yang penting, aku nggak pernah berpikiran untuk nyakitin kamu.”
                Si’am bukan orang yang romantis. Dia juga bukan orang yang suka bicara. Dia cenderung mengungkapkan apa yang dirasakannya melalui tindakan. Makanya, aku tahu sekali, kalau dia pasti sulit untuk mengucapkan itu tadi dan cukup membuatku terharu sekaligus tenang.
                Lalu pertanyaannya, bagaimana perasaanku sendiri? Aku binggung. Mungkin aku perlu waktu untuk berpikir. Makanya, beberapa hari ini aku menjaga jarak dengannya, agar aku lebih mantap dengan hatiku, tentang apa yang sebenarnya kurasa.
                Namun, diam bukan cara yang ampuh. Aku harus jujur kepada Si’am. Dia orang yang cukup dewasa. Aku harap dia bisa memahami apa yang aku sampaikan sehinggak tidak terjadi kesalahpahaman. Aku tidak mau menjalani hubungan yang kurang ‘sreg’.
                “Am, aku mau bicara.” Ucapku sambil menarik lengannya untuk mencari tempat yang nyaman. Aku memutuskan untuk bicara di bawah pohon dekat lapangan saja.
                “Sudah makan ‘kan?” Tanyanya selagi berjalan di belakangku.
                “Sudah. Hmmm..”
                Si’am hanya diam. Tidak menagihku yang katanya mau membicarakan sesuatu. Dia memang orang yang sangat pengertian.
                “Aku binggung.” Aku menatapnya dengan mata yang gelisah. Langsung ke manik matanya. Berharap dia bisa tahu sendiri dari dalam mataku sehingga aku tidak perlu mengunggkapkan hal berat ini. Juju itu menyenangkan, tapi, untuk melakukannya susah sekali.
                Tapi, Si’am sekali lagi hanya dia. Kali ini aku tak tahu, diamnya kali ini berarti apa.
                Akhirnya aku memutuskan melanjutkan, “Aku merasa... kita sedikit hambar.” Aku berharap tidak cukup menyinggung perasaannya. Aku takut dia merasa kecewa kepadaku. Dia orang yang sangat baik, aku tidak sampai hati menyakiti dia.
                “Hahaha!” Setelah hening sekian detik yang rasanya menyiksa (karena menunggu itu tidak enak) Si’am hanya tertawa. Matanya hanya membentuk garis ketika ia tertawa, gigi putihnya juga terlihat jelas. “ternyata kita sama. Aku juga merasa akhir-akhir ini kita kurang komunikasi. Atau bahkan dari awal kita kurang komunikasi.”
                “Huft. Syukurlah kamu tidak marah.” Aku merasa lega.
                “Kenapa aku harus marah terhadap orang yang kusayangi yang sedang berusaha jujur? Aku malah menghargai itu. Sangat.” Dia terseyum.
                Betapa bodohnya aku, ternyata senyumnya mirip senyum Jang Woo Young 2PM. “Lalu?”
                “Eh?” Dia tampak sedang berpikir. Lalu, tidak seperti Si’am yang biasa, ia tersenyum seperti bercampur malu dan senang. “Kita mulai dari awal lagi!”
                Sepertinya, bukan hanya Si’am saja yang berubah saat ini, aku juga. Aku senyum-senyum seperti anak kecil yang mendapatkan banyak coklat dan permen. Aku juga, tapi aku mendapatkan yang lebih dari sekedar coklat dan permen.