Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Jumat, 06 Mei 2011

Eternal Love


Aku ‘kan sudah bilang. Aku bukan yang terbaik, aku nggak sempurna. Tapi, kenapa masih melakukan ini semua?
                Aku membuang buket mawar dengan pita putih di tengahnya. Kalau saja tak ada perasaan cinta yang kau berikan dalam buket itu, aku akan senang hati merawatnya. Masalahnya, aku tak mau menerima cintamu. Apa itu cinta? Cinta nggak pernah bisa buat bahagia.
                Setelah menjalani kemoterapi selama berbulan-bulan, aku capek. Aku sadar kok. Aku nggak akan pernah bisa sembuh. Semua ini hanya memakan waktu-waktu terakhirku. Terapi seperti ini hanya akan memperlambat ‘kematian’ku saja. Dan aku hanya bisa menunggu waktu saja.
                Di saat berat seperti ini, kamu masih saja mengangguku. Bertamu ke rumahku, mengirimiku mawar, menelponku setiap saat. Kau pikir aku suka semua itu? Kau pikir aku suka bunga mawar? Sayang sekali, yang kusuka itu bunga melati yang kelak akan selalu ada di atas pembaringan terakhirku. Jadi, kenapa kau tak simpan saja uang mu untuk membelikanku bunga melati ketika aku mati nanti?
                Siang hari memang waktu yang menyenangkan bagiku. Aku suka cahaya matahari dan tak suka kegelapan. Kalau pada malam hari, aku takut ada bayangan hitam yang membawaku pergi.
                Suster Aida sudah memberiku obat rutin. Aku menelannya dengan sungkan. Lalu, aku tiduran di kasur rawat rumah sakit. Bisa di bilang aku sudah hapal dengan semua wangi bantal yang ada di rumah sakit ini saking seringnya di opname. Kali ini saja aku terpaksa di opname (lagi) karena aku sempat pingsan.
                Ketika mataku sudah agak pegal dan napasku panjang dan dalam, ada yang mengetuk pintu. Ehm, mungkin lebih tepatnya sih menggedor. Aku langsung membuka kedua mataku dan melihat gerakan cepat dari pintu.
                “Kamu kenapa, Ris?”
                Angga, cowok yang membuatku angkat tangan menghadapinya. Ngapain sih dia ada di sini? Tunggu dulu, dari mana dia mengetahui aku di rawat di rumah sakit?
                “Kamu sehat ‘kan, Ris?”
                “Aku ‘kan sudah bilang padamu sebelumnya, berulang-ulang : aku ini nggak sempurna, aku bukan yang terbaik. Dan yang terpenting, aku nggak suka padamu. Sekarang, kamu sudah lihatkan, aku sebentar lagi mati. Jadi, lebih baik kamu pergi!”
Setelah dia pergi, baru aku sadar, aku senang akan semua perhatiannya padaku selama ini. Aku menyesal telah memarahinya, lebih-lebih ketika dia mengatakan sesuatu sebelum pergi.
 “Selama ini, aku sayang kamu tulus, Ris. Sungguh aku nggak sekalipun berniat mainin kamu. Apalagi setelah tahu kamu sakit, aku langsung berpikir dan siap merawat kamu seumur hidup aku, Ris. Tapi, kalau nyatanya kamu terganggu dengan kehadiran aku, aku akan pergi. Semoga kamu cepet sembuh ya. Aku akan selalu berdoa untuk kamu...”
Aku cuma bisa menangis di balik bantal dan berteriak dalam hati,’Kenapa penyesalan selalu datang di akhir?’
3 tahun bukan waktu yang lama. Tapi, dalam waktu selama itu, teknologi maju dengan amat cepatnya. Pengobatan herbal juga berkembang pesat. Penyakitku sudah di temukan penawarnya, meski memakan biaya banyak.
Sekarang perkembangan ilmu kedokteran dan di imbangi dengan pengobatan herbal mampu menyembuhkanku. Sekarang, mimpi-mimpi buruk sudah menjauh. Bayangan kematian juga sudah tak ada lagi di setiap mataku. Ternyata, Tuhan masih menginginkan aku hidup. Dia tahu, ada sesuatu yang belum aku selesaikan. Ya, Angga.
Aku datang mencarinya di rumahnya. Semoga saja dia tidak pindah.
Aku memencet bel berkali-kali tapi tak ada jawaban. Aku sempat menyerah sampai akhirnya aku mendengar gerakan di balik pintu. Sesaat kemudian, muncul wajah tegang di baliknya.
Kami berpandangan lama, dan akhirnya aku tergagap, “Ha-hai! Apa kabar?” Aku mengutuki diri sendiri, kenapa yang keluar malah kata-kata formal? Duhh...
Ketika belum juga ada jawaban dari Angga, ibunya keburu keluar dan bertanya, “ Siapa, Ngga?”
“Eh, mah...Kenalin, pacar aku!” Angga sontak merangkulku.
Aku nggak tahu apa arti senyum Angga dan ibunya. Tapi, aku bahagia kok. Aku belum kehilangan Angga...

By : Chien
Tgl 21 April 2011

Luka yang Sama


Yah, ingin aku percaya kata-katamu itu : aku mencintaimu; aku menyayangimu; kau satu-satunya buatku. Tapi itu bullshit! BOHONG! Buktinya kau mencintai orang lain, dan aku bukan yang utama buatmu!
            Hah, aku ingat. Kau juga bilang kau tak punya rasa dengannya. Tapi—kini—setelah semuanya terbongkar, aku mengerti, kau katakan itu hanya untuk menutupinya serapat mungkin. Aku benar, bukan?
            Dan, aku juga ingat. Dia—yang kini selalu bersamamu—pernah mengungkapkan kata-kata yang takkan pernah keluar dari mulutku. Kata-kata yang mungkin jika kau tahu, takkan menbuatmu berpaling dariku hanya untuk gadis seperti dia.
            Tapi, sepertinya aku tak seharusnya bersedih dengan kejadian ini. Karena dengan adanya kejadian ini aku jadi mengerti seperti apa dirimu, bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya terhadapku. Aku harus berterimakasih pada Tuhan.
            Yeah, setidaknya itu yang membuatku sedikit lebih baik, aku merasa tidak benar-benar dibuang.
            Kupejamkan mataku sejenak. Merenungi apa salahku; apa yang belum kuperbuat untuk mempertahankan dirimu. Tapi aku selalu menghentikan itu. Mau bagaimanapun kau bukan lagi untukku.
            Tapi akrinya kau datang kehadapanku. Berusaha terlihat sekeren mungkin, kau katakan ini :
            “Aku ingin memperbaiki segalanya. Aku ingin kembali.”
            Hah, andai kau ingat apa yang telah kau perbuat sebulan yang lalu. Kau tinggalkan aku untuk dia—yang tidak lebih baik dariku. Seharusnya kau masih punya sedikit otak saat kau lakukan itu. Setidakya kau tinggalkan aku untuk seseorang yang—setidaknya sedikit—lebih baik dari padaku!
            Aku yang malu karena itu. Orang sekitarku membicarakanmu dengannya. Katanya dia tak pantas bersaing denganku. Hah, kau tau apa artinya itu? Aku lebih baik darinya!
            Tapi, mungkin kau juga menyadari itu. Makanya kau ingin kembali. Tapi tak semudah itu. Tak mudah buatku kembali pada orang yang sudah menyakitiku, bahkan yang sudah membuangku!
            Seperti dulu—kalau kau masih ingat—saat kau mencoba melakukan pendekatan denganku. Kau tahu butuh waktu berapa lama untuk itu? Tiga bulan. Bukan waktu yang singkat, kau tahu?
            Kini setelah kau sakiti aku, kau ingin kembali. Aku tak tau selanjutnya apa yang akan kau lakukan padaku. Mungkin kau akan ‘menyukaiku’ lagi, dan kemudian ‘membuangku’ lagi.
               Huhh, betapa kejamnya dunia...
            Yah, bagaikan terulang kembali. Kau mencoba mengejarku seperti dulu. Aku tak percaya kau seperti ini. Susah payah hanya untuk kembali pada seseorang yang pernah kau buang. Hanya buang-buang waktu. Dan, jujur saja, aku terganggu dengan itu. Kumohon, berhentilah!
            Mungkin hati nuraniku masih berfungsi dengan sangat baik, atau mungkin juga sudah rusak, sampai-sampai aku mau kembali padamu.
            Seperti anak kecil kau melompat kegirangan dan mengatakan pada setiap orang yang kau temui bahwa ‘kita’ sudah kembali.
            Ingin aku bahagia dengan kenyataan ini, tapi belum sempat aku merasakannya, sampai akhrinya kau lakukan ‘itu’ lagi. Bukan—lebih tepanya—kau buang aku lagi.
            Kali ini bukan untuk gadis kesekian yang menggantikan posisiku, tapi karena lima ratus ribu rupiah yang kau taruhkan dengan teman-temanmu itu!
            Saat aku tau itu, aku berpikir kau bukan manusia.
            “Kau tidak tau betapa sakitnya jatuh kedalam lubang yang sama, dengan orang yang sama, dengan luka yang sama.”
            Kau hanya bisa mengatakan maaf. Kata yang kau pikir selalu bisa membuatku memaafkanmu. Tidak! Tidak sama sekali. Tidak dulu, maupun sekarang!
            Aku benci dirimu yang bodoh. Aku benci dirimu yang plin-plan. Aku benci dirimu yang membuatku lebih bodoh dari seekor keledai!
           

 [Johana Yoe]