Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Jumat, 14 Januari 2011

Cinta Nggak Bikin Kenyang

Halo, mau baca cerpen kan? Nih saya postingkan cerpen terbaru saya...Baca trus kasih komentar ya


“Nda! Tungguin, Nda! Yolanda!!!”
                Bedebam-bedebum suara sepatu Weni di lorong, diantara loket-loket sekolah yang berkarat. Ada beberapa siswa yang sedang mengambil buku-buku pelajaran dari loket mereka yang menoleh ke arah Weni.
                “Heh? Napa lo?” Aku mengernyit heran. Nggak pernah liat aku si Weni segitu semangatnya ngejar-ngejar aku. Aku menengok-nengok mencari kali aja ada kamera buat syuting film India? Who’s know???
                “Nggal pa-pa. Hehe. Habis lo jalannya cepet banget sih. Kayak sepur ( kereta ).” Weni nyengir lebar.
                “Huh! Gila lo. Gue kira ada syuting film India tau. Pake acara lari sambil teriakin nama gue lagi.” Aku nyerocos sambil jalan. Weni menjajari langkahku.
                “Nggak pa-pa lagi. Kita ‘kan best friend.” Weni nyengir lebar ( lagi ).
                Mendengar ucapan Weni aku lansung tersenyum seraya berkata, “Hahaha. So pasti, Weni.” Aku merangkulnya sambil mengobrol asyik tentang teman-teman kami.
                Aku pulang dengan semangat yang masih penuh. Walaupun tadi di sekolah sudah cerita panjang lebar, tinggi pendek, jauh dekat sama si Weni, aku tetep nggak capek. Malah bahagia banget. Setiap hari ku penuh denga sukacita dengan teman dan keluarga.
                “Aku pulang!” Aku melepas sepatuku di depan rak sepatu dan meletakkannya sembarangan, tanpa melepas kaus kaki. Aku jalan ke dapur.
Biasanya setiap aku pulang sekolah, bunda sedang menyiapkan makan siang di dapur sambil menunggu aku dan ayahku pulang. Sebenarnya ayah bekerja sampai sore. Tapi, beliau selalu menyempatkan diri untuk pulang pada jam makan siang agar kami bertiga bisa makan bersama. Sepertinya ayah temanku tidak ada yang seperti itu, Aku jadi merasa bangga pada ayah. Dad I’m proud you!
Biasanya sih aku yang selalu sampai duluan ketimbang ayah. Soalnya pekerjaan ayah banyak dan bosnya itu tipe orang yang berprinsip ‘Waktu Adalah Uang’. Time is money. ( Tapi, mbok ya jangan memforsirkan kayak begitu dong. Kasihan ayah yang kecapekan ). Tapi, hari ini tumben-tumbenan ayah datang duluan. Aku menghampirinya untuk mengucapkan salam dan mengecup pipinya seperti biasa.
Ketika aku menghampiri bunda dan ayah, mereka menjadi seperti salah tingkah. Mata bunda memerah dan berkaca-kaca. Napas ayah naik-turun seperti sedang marah. Eit, sepertinya benar-benar marah. Ku lihat dapur yang selalu rapi kini berantakan.
Ayah keluar dari dapur dan bunda semakin keras menangis dan terduduk di lantai. Bunda terlihat semakin tua beberapa tahun dari umurnya dan terlihat amat rentan dan terpukul. Aku buru-buru mengambilkan air putih. Namun, tak bisa kuelak, tanganku gemetar. Baru sekali ini aku melihat ayahku begitu. Ada apa, ayah? Aku membereskan dapur sambil bertanya-tanya dengan perasaan tak enak. Aku merasa suatu hal buruk, benar-benar buruk sudah terjadi.
Sorenya bunda baru bisa cerita setelah tertidur karena terlalu shock ( mungkin ) atau mungkin kelelahan karena menangis terus. Ayah sudah kembali ke kantornya sejak siang tadi. Aku tak mengucapkan apa-apa ketika ayah berangkat ke kantor. Karena muka ayah yang menahan marah, aku jadi takut salah bicara.
Ayah terlibat cinta lokasi dengan asistennya ( Yaelah! Kayak anak muda aja! Plis deh! ). Aku heran mendengarnya. Asistennya baru berusia 25 tahun dan baru sekitar setengah tahun bekerja. Usia yang masih terlalu muda dan waktu yang terlalu cepat untuk mengambil hati ayahku. Sepertinya mereka sudah menjalin hubungan selama beberapa bulan dan ayah semakin melupakan bunda.
Kepalaku berputar-putar. Kenapa tiba-tiba seperti di dalam sinetron? Dulu setiap kali aku menemani bunda menonton sinetron, seringkali aku menjumpai cerita seperti ini. Tapi, dipikaranku, hal semacam itu tidak akan terjadi padaku dan keluargaku. Kami begitu harmonis sebelumnya. Ya, sebelumnya. Sekarang tidak lagi. Ayah sudah jarang pulang. Mungkinkah beliau tinggal di rumah ‘pacar’nya? Aku ogah memikirkannya.
Aku menyibukkan diri di kegiatan OSIS dan bersama teman-teman. Di rumah terlalu engap untuk berlama-lama berdiam. Sebenarnya aku kasihan terhadap bunda. Aku tahu beliau pasti sedih, ya terpukul, marah. Tapi, aku juga perlu sendiri. Berpikir. Apa yang harus aku lakukan?
Sesekali aku mengajak bunda jalan-jalan. Berangsur-angsur keadaannya pulih. Bunda sudah bisa berpikir jernih. Sudah lebih tenang bila membicarakan ayah. Sebenarnya aku sudah nggak ingin dengar tentang ayah, tapi, kita harus membicarakan itu agar menemukan jalan yang terbaik bagi kami bertiga. Dan mau bagaimanapun juga, dia tetap ayahku. Tapi, jauh di dalam hatiku, dia bukan sosok ayah yang sempurna lagi. Dia nggak pernah membayari uang sekolahku lagi dan memberi uang belanja kepada bunda.
Padahal, menurut cerita bunda, dulu mereka berdua saling cinta. Ayah cinta mati kepada bunda. Begitu tutur katanya kepada bunda ketika melamar. Berjanji akan setia, saat susah-senang di depan pendeta. Di depan Yesus Kristus.
Memiliki masalah pelik seperti ini membuatku berpikir dua kali untuk berpacaran. Untuk apa pacaran? Untuk apa menikah kelak? Toh, nyatanya cinta itu nggak bikin kenyang. Nggak akan deh.
Di sekolah saat jam istirahat kedua, aku dan Weni serta teman-teman yang lain nongkrong di kantin besar. Sekolah kami memiliki 3 kantin. Yaitu kantin OSIS, kantin pojok—karena letaknya yang di pojok sekolah dan kantin besar—karena tempatnya yang luas dan banyak menjual berbagai macam makanan. Di jamin kenyang + kantong jebol kalau kelamaan nongkrong di situ.
Kami bicara banyak bersama-sama. Aku nggak mau kehilangan satu detik pun untuk melamunkan perbuatan ayah terhadapku terutama bunda. Lebih baik 100 kali jika waktuku kuhabiskan untuk belajar, teman, OSIS dan bekerja. Yup, sekarang aku bekerja di supermaket 24 jam dekat rumah. Aku dapat sift siang sepulang sekolah sampai sore. Lumayan gajinya buat uang saku. Bunda juga bekerja di butik temannya sebagai tukang jahit. Pendapatannya lumayan untuk belanja sehari-hari dan bayar sekolah.
Pokoknya aku sudah senang aku dan bunda bisa bangkit lagi. Awalnya aku berpikir mana bisa aku keluar dari masalah sebesar ini? Bagaimana kami berdua hidup tanpa ayah? Aku seperti tak melihat jalan keluar saat itu. Tapi, kini aku yakin sekali, bahwa Tuhan Yesus ada di dalam hatiku. Aku merasa damai. Ternyata, masalah yang begitu berat ini membawa berkah baik bagiku. Aku jadi semakin dekat dengan Tuhan. Lebih rajin ke gereja. Aku menemukan ketenangan batin di sana.
Teman-teman juga benar-benar mendukung aku. Masalah ini juga membawa kami semakin dekat bak saudara. Mereka biasanya di akhir pekan menginap di rumah agar bunda terhibur. Aku makin sayang mereka.
Ayah benar-benar tidak pulang sama sekali. Lalu, hari itu bunda menerima surat cerai dari ayah. Bunda menangis sesenggukkan dan aku menenangkannya dan mengelus-elus punggungnya yang bergetar. Dan, bunda menandatanganinya. Dan ketika itu, aku merasa, inilah jalan yang terbaik bagi kami semua. Ini bukanlah sebuah akhir dari sebuah keluarga. Malah, ini adalah awal dari keluarga yang baru. Dan dari sini, kita akan buat kenangan baru. It’s just a beginning, guys!               Ayah juga menyadari dirinya salah dengan menelantarkan keluarganya. Padahal kami tidak bersalah. Akhirnya, ia berjanji akan memberi santunan untuk membesarkanku setiap bulan sebesar 5 Juta. Awalnya aku tidak mau menerima. Namun, bunda, teman dan guru memberi pengertian. Katanya, ini masih kewajiban ayah sebagai ayah yang baik untuk memberikan santunan setiap bulan kepada anaknya. Agar anaknya tidak terlantar. Aku mengerti dan akhirnya menerima uang itu untuk membayar sekolah dan membeli buku.
“Tuhan, berikan aku hati yang lapang untuk memaafkan ayahku sepenuhnya. Berikan aku juga ketabahan untuk melewati hari-hari yang berat. Dan semoga aku dan bunda selalu berada di dalam damai-Mu. Amin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading


sincerely,
Mensiska J. Suswanto