Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Kamis, 07 April 2011

Nama yang Selalu Kusebut


Aku berjalan sedikit cepat dengan rambut panjang tergerai sepinggang. Aku sedikit kedinginan. Sore ini agak mendung dan angin yang menusuk. Maklum saja, sekarang masih bulan Desember, dan menurut pergantian musim yang ada di Indonesia, Bulan Desember masih musim hujan. Tapi, itu juga belum tentu sih. Zaman sekarang ‘kan zamannya sudah beda. Musim sudah nggak tentu. Kadang hujan, tapi sesaat panas. Tapi, hal itu nggak menghentikan langit sore ini untuk begumul membentuk awan.
                Ahh. Andai aku punya pacar. Pasti akan ada yang menemani aku di saat-saat seperti ini. Pasti akan ada yang mengajakku bicara saat mengantarku pulang berjalan kaki. Pasti akan ada yang menyampirkan jaketnya atau baju hangatnya ke bahuku. Iih, apa sih yang aku pikirkan? Teman lelaki saja nggak punya, apalagi pacar? I just dreaming >.<
                Aarrrggghhhh! Rasa-rasanya aku bisa hilang kendali bila memikirkan itu. Karena, kalau aku memikirkan soal pacar atau gebetan, pikiranku akan langsung membawaku ke memori setahun yang lalu. Saat itu di Negeri Sakura, sedang musim dingin. Dan pada malam itu, salju sedang turun. Aku menikmatinya bersama teman-teman sekelasku karena saat itu aku masih bersekolah di sekolah Jepang. Kami bersama-sama merayakan malam natal di Shibuya yang penuh dengan orang. Lalu, kami makan malam di restoran keluarga di dekat situ dan melanjutkannya dengan berkaraoke sampai larut malam.
                Aku katakan pada sahabatku bahwa aku harus pulang ketika jam tangan pink kesayanganku sudah menunjukkan pukul setengah dua belas! It’s midnight! Langsung saja ketika itu sekelabat wajah bunda yang cemas muncuk di pikiranku. Aku tahu bunda adalah orang mudah khawatir. Makanya, aku tidak ingin membuatnya makin gelisah, aku harus pulang.
                Eriko—sahabatku berusaha membujukku untuk tetap tinggal sampai acara karaokenya selesai. Apalagi semua teman sekelasku masih asyik bernyanyi. Beberapa anak malah ada yang bermain kartu Uno dan Yamada ada di antara mereka. Aku tidak bisa!
                Aku langsung mengambil mantel berbulu hadiah dari Yamada yang aku gantung di kayu dekat pintu. Ihh, tiap kali aku ingat si ‘pemberi mantel’ itu, aku pasti deg-degan. Aku sebenarnya nggak pernah memerhatikan Yamada secara khusus dan pribadi. Tapi, ketika kami sama-sama menjadi pengurus kelas, secara nggak langsung kami jadi kenal lebih dekat. Yah, aku belum mengakui aku menyukainya sih. Tapi, Yamada tiba-tiba mengajakku ke pantai berdua.
Ia juga sempat mengajakku menonton meski belum ada waktu yang pas karena kami sama-sama pengurus kelas. Tahu sendirilah, pengurus kelas bisa di bilang sebagai anak buahnya guru. Tiap pagi, kita harus berangkat lebih awal untuk piket besama anak lain yang bertugas, lalu saat jam pelajaran dimulai, kita harus membantu guru untuk membawa perangkat mengajar dan buku-buku tugas dari ruang guru. Saat jam pulang sekolah, kita juga harus piket lagi. Belum lagi kalau ada laporan yang harus di kerjakan sebagai pengurus kelas. Tapi, di sela-sela kesibukan itu, aku masih bisa tersenyum karena ada Yamada. Sungguh nggak ada yang bisa menggantikan masa-masa itu.
Tapi, aku merasa kehilangan Yamada ketika di semester berikutnya kami tidak bersama-sama mengurus kelas lagi. Kami di gantikan oleh Eriko dan Fukushima. Aku nggak tahu, apakah hanya aku yang merasa seperti itu, atau Yamada juga merasakannya ya?
Tapi, lambat laun waktu bergulir, Yamada tidak berusaha mengajakku mengobrol. Keadaan kami menjadi seperti saat kami belum menjadi pengurus kelas. Saat kami hanya mengenal kata ‘teman sekelas’ dan nggak lebih. Aku sedih, tapi aku tahu kalau aku nggak bisa berbuat apa-apa.
Yahh, mungkin juga Yamada bersikap seperti itu karena beberapa bulan setelah kami berhenti menjadi pengurus kelas, Fukushima menyatakan perasaannya padaku. Eriko meyakinkanku bahwa Fukushima lelaki yang baik. Katanya, Fukushima selalu membicarakanku saat rapat pengurus kelas. Akhirnya, aku menerimanya. Tapi, aku sepertinya nggak bisa bohong kepada perasaanku sendiri dan akhirnya memutuskan hubunganku dengan Fukushima.
Sampai akhirnya upacara kelulusan, Yamada menyalamiku dan semua teman sekelas kami di sertai ucapan selamat yang formal. Hanya itu. Aku nggak tahu aku mengharapkan yang lebih atau tidak. Karena aku selalu mengenyahkan pikiranku segera ketika aku teringat lagi tentang Yamada. Aku hanya tahu kalau aku selalu mencuri pandang padanya. Dan hanya itu yang aku selalu lakukan tanpa meminta tatapan balasan.
Sampai hari ini, sudah setahun berselang, Yamada sama sekali tidak berusaha menghubungiku. Padahal, saat pesta perpisahan kelas kami di bulang Juni, aku meninggalkan alamat ku di Jakarta. Dan pada saat reuni tiga bulan yang lalu yang diadakan di gedung aula sekolah kami di Jepang, Yamada tidak ada. Aku sedih, kami sudah lama tidak bertemu. Tunggu dulu...apa hak ku ingin bertemu dengannya?
Ketika rumahku yang asri di dekat kampus sudah dekat, aku segera menhapus kenangan Yamada di memoriku yang terbatas ini dan segera menerima kenyataan. Aku memang pelupa. Aku takut jika setiap hari aku mengingatnya, semuanya akan aku lupakan suatu saat nanti. Aku tidak mau.
Namun ketika aku baru selangkah masuk, hendak meletakkan sepatuku di rak sepatu dekat pintu, bel rumahku berbunyi. Karena bel itu berbunyi terus dan aku belum sempat meletakkan sepatuku, aku akhirnya membuka pintu dengan tangan menenteng sepatu.
Plukk!
Sepatuku jatuh ketika aku melihat siapa yang bertamu.
“Hai, Kyoko!”
Aku tercekat, “Ya-yamada?”
Ya tuhan, nama yang selalu kusebut...

By : Yolanda Yoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading


sincerely,
Mensiska J. Suswanto