Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Sabtu, 09 April 2011

A HULLAHOP


Aku meletakkan hullahop yang berdiameter sekitar setengah meter itu di lantai. Aku mengambil minum dan meninggalkannya di sana. Sampai aku berpaling dari sana, benda bundar itu setia di sana. Benda itu, milik Ayen.
Aku kembali ke rumah itu setelah sekian lama kutinggalkan.  Aku telah lama mengukir sakit di hati ini selama tinggal di sana. Banyak kenangan pahit yang terkenang, puluhan sakit hati kukecap. Smapai-sampai rasanya aku jadi tak kuat setiap kali mengingatnya satu persatu luka itu. Mungkin terlalu dalam luka itu sampai ketika kini sepuluh tahun setelah itu, aku masih bisa hapal sakitnya.
Aku menyentuh handel pintu yang terasa dingin di kulit. Pikiranku kembali ke masa kecilku.  Setiap aku tidur di sini, makan di sini, mandi di sini dan bermain di sini. Di handel pintu ini aku pernah terbentur.
Lalu langkahku membawaku mengelilingi rumah tua itu tanpa aku minta. Aku menyentuh semua yang bisa kusentuh. Meski berdebu, itu semua menimbulkan sensasi tak terduga. Aku sungguh-sungguh kangen ini semua.
Aku sampai di tempat terakhir yang ingin kukunjungi : Kamar tidurku. Di sana lebih-lebih banyak kenangan menyedihkan yang terasa sampai sekarang. Air mataku, dulu semuanya tertumpah di kasur dan bantal-bantal itu.
Masuk ke rumah ini, seperti kembali ke pusara kesedihan. Tempat dimana seluruh kesedihan berasal. Masuk ke rumah ini sama saja kembali membuka luka lama. Tapi, mau tak mau, semuanya akan terjadi, semua hanya masalah waktu, entah besok atau lusa, artinya semuanya bakal tetap terjadi kan?
Namun, ada satu kenangan indah di situ. Iya, hanya satu. Dan itu pun hanya sekejap. Namun, kamu memberikan kesan mendalam. Dia adalah teman ‘sesaat’ yang selamanya. Maksudnya, dia nggak mudah di lupakan oleh aku. Dimana yah aku bisa bertemu dengannya lagi?
Aku duduk di bibir ranjang kasur tua yang semakin dalam di duduki semakin berdecit ngilu memeberi kesan....seram mungkin?
Saat aku duduk, kakiku menendang sesuatu di bawah kasur. Warnanya coklat kekunigan : hullahup yang sering kumainkan dulu.
Aku mengambilnya dengan bersemangat. Aku mencoba memasukkan tubuhku ke dalam lingkarannya dan mencoba memutarnya. Tapi, aku sepertinya telah lupa cara melakukannya. Akhirnya yang aku lakukan cuma mengelus-elusnya.
Tapi, tiba-tiba gerakanku terhenti. Badanku membeku.
“Ayen? Sebastien? Kau kah itu?” Aku panik sekaligus senang saat aku mendapati ada gerakan-gerakan yang bersuara di dapur. Mungkin dia datang dari pintu belakang yang sempat aku buka tadi.
Aku kesana, tapi tak menemukannya. Mungkin dia kembali kagi ke rumahnya untuk mengambil cemilan. Dia tahu kalau aku suka bercerita panjang lebar dengannya. Jadi, aku menunggunya di sana, sampai fajar bermain petak umpet dan kalah bersuit dengan matahari dan terpaksa jadi penjaganya.
Aku sedih, tapi aku nggak bisa apa-apa. Besok aku ada pertemuan para penulis novel di salah satu perusahaan penerbit. Aku keluar dari rumah itu setelah yakin sudah mengunci semuanya—termasuk pintu belakang meski berat hati.
Aku mengunci pintu depan. Artinya, aku sudah harus kembali ke kehidupanku sekarang. Tadi selama seharian ini aku sudah menjadi Anggun ‘yang dulu’ dan sekarang aku harus kembali berubah ke wujud asalku.
Di depan rumah itu, aku bertemu dengan ibu Ayen.
“Eh, nak! Sini, nak. Ibu pikir kamu sudah pulang sejak siang.” Beliau tampak sangat bahagia. Beliau sangat baik kepadaku.
“Iya, tante. Ini baru mau pulang. Tadi saya iseng masuk ke dalam rumah. Rasanya kangen sekali ya, “ Pikiranku melayang, pandanganku menerawang, “Saya nggak bisa lama-lama, tante. Saya harus pulang. Kapan-kapan saya mampir lagi ya, tante.”
“Iya, kebetulan acara peringatan sepuluh tahunannya Ayen juga baru selesai tadi.  Hati-hati ya, nak Anggun. Jangan sampai kecelakaan seperti Ayen terulang lagi sama Anggun. Tante sayang sama Nak Anggun seperti sayangnya tante sama Ayen.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Tante, Anggun juga sayang sama tante sama seperti sayangnya Anggun ke orang tua Anggun, kok.”
“Oh ya, minggu depan adalah hari peringatan kematian orang tuamu kan?”
“Iya. Tante datang kan?”
“Iya. Nanti tante bawa makanan kesukaanmu.”

Iya, benar. Aku baru sadar... Kini, kenangan indah satu-satunya telah benar-benar tiada. Ayen tidak ada lagi di sampingku. Selama ini, aku selalu hidup dalam kepercayaan bahwa Ayen akan kembali padaku, tempatnya berpulang di dunia ini. Tapi, aku salah, dia telah berpulang ke rumah yang kekal abadi, dimana tiada tangis dan susah.
Sekarang, bagaimana bisa aku berdiri tanpa keyakinan itu lagi setelah aku tersadar?

By : Yolanda Yoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading


sincerely,
Mensiska J. Suswanto