FIKSI
Aku jatuh cinta kepada Dani, dan rupanya saudara kembarku juga
menyukainya. Sampai akhirnya sebuah rahasia terkuak dan menghacurkan
semuanya...
Kami
memulai tahun pertama kami di Universitas. Dia masuk fakultas sastra. Sedangkan
aku culinary. Kami sangat akrab, yah,
setidaknya tidak seperti anak kembar lainnya. Kami saling membantu, terutama
dalam hal sekolah dulu. Dia yang lebih banyak membantuku.
Seperti
yang sudah aku bilang, kami sangat akrab. Selera kami sama. Kecuali dalam hal
makanan, dia suka asin, sedangkan aku lebih suka manis. Untuk keseluruhannya,
kami banyak samanya. Mulai dari pakaian, film, buku, bahkan cowok. Hal terakhir
ini nih, yang jadi masalah.
Ada
satu cowok, Dani namanya. Dia teman sekolah kami. Dia baik, pada semua orang.
Aku tekankan SEMUA ORANG! Tapi, boleh dong aku sedikit berharap...? Yah itu
yang jadi masalah disini.
Kami—aku
dan saudara kembarku salah mengartikan kata ‘baik’ itu. Meskipun itu hanya
sebuah harapan kosong. Kami tetap sama-sama berjuang untuk mendapatkannya.
Meski tau itu tidak mungkin.
Kesimpulannya,
aku menyukainya. Begitu juga dengan
saudara kembarku. Sampai suatu ketika kami sama-sama mengetahui perasaan kami masing-masing.
Dan terjadi perdebatan kecil antara kami.
“Sejak
kapan loe suka?”
“Sejak
loe suka.”
“Kenapa
loe suka?”
“Karena
loe suka.”
“Kenapa
elo selalu ngikut gue?” aku mulai dongkol. Kenapa jadi gini ceritanya?
Benar-benar bukan kisah cinta yang kuharapkan diumurku yang beranjak sembilan
belas.
“Karena
menurut gue, kalo kita memiliki selera yang benar-benar sama itu akan
benar-benar mengasyikkan.” dia tersenyum-senyum sendiri.
Arrrgggghhhh...
aku hidup dengan seorang pshyco!!!!!
Kami tetap bersikap sebiasa mungkin. Sebiasa
mungkin tapi pada akhrinya dengan sikap yang “sebiasa mungkin” itu lah
teman-teman kami tau dan mulai meledek kami karena menyukai orang yang sama.
Bukan
hal yang membanggakan untukku tapi “iya” untuk saudara kembarku. Brrrr... aku
geram setengah mati. Mungkin aku akan berhenti menyukainya. Aku tak tahan!
Keesokkannya
aku bangun dengan wajah lelah. Aku hanya berharap sekarang aku bisa melewati
hari ini dan seterusnya tanpa ada seteru denga saudara kembarku sendiri apalagi
mengenai cowok. Benar-benar kedengaran aneh.
Aku
berusaha tidak punya rasa apapun ketika aku bertemu dengannya. Dia juga bersikap biasa saja. Itu membuatku tenang. Tapi
ketenganku mulai terganggu dan diuji ketika segerombolan temanku yang melihat
tiba-tiba bersorak-sorai meledek kami—lebih tepatnya meledekku.
Arrgggghhh...
aku lelah dengan semua ini.
Besok.
Besok pasti semuanya akan baik-baik saja. Liat saja nanti. Akan kupastikan itu.
Tapi, besoknya, saat perayaan Bulan Bahasa diadakan, sesuatu terjadi menimpaku.
Sebuah
pementasan drama dari kelasku dan kelas Bintang berkomplot meledek kami. Drama
itu berjudul “Dia Milikku”. Sial dari judulnya aja udah ketauan maksudnya apa.
Dua orang gadis yang masing-masing memakai
dress pink dan hijau tosca sedang berdebat. Mereka memperebutkan sebuah boneka
Teddy Bear.
Sial
benar-benar persis! Aku meringis dalam hati. Sial, siapa sih yang nulis
naskahnya? Biar gue cekek dia.
Adegan kedua memeprlihatkan dua orang gadis
yang sama, memakai piama yang sama persis. Mereka sedang memperebutkan cokelat.
Benar-benar hal yang memalukan. Aku
benar-benar tak habis pikir kenapa dulu
aku dan Bintang bisa melakukan itu. Eh, tapi, mereka tau dari mana cerita itu?
Yang tau hanya keluagaku. Nggak lebih. Teman dekatku saja tidak tau...
Adegan ketiga memperlihatkan dua tokoh yang
sama. Kali ini salah satu dari mereka berpakaian persis sepertiku hari ini.
Sial dia pasti pakai baju Bintang! Tokoh
yang satunya lagi memakai baju persis seperti yang dipakai Bintang hari ini. Sudah
jelas itu bajuku.
Mereka
jelas sedang membicarakan ‘Dia’. Mati aku. Meskipun satu kampus sudah tau gosip
itu, tapi aku pasti akan makin kehilangan muka, mengingat satu sekolah tau, aku
bertengkar dengan saudara kembarku sendiri hanya karnea seorang cowok—yang
sebenarnya dan sudah jelas sekali—tidak memberikan kami harapan. Kalau iya, mungkin juga itu harapan kosong.
Arrgggghhhh,
aku berjalan tanpa arah dengan sebelah tangan terangkat untuk meutupi wajah.
Mengantisipasi agar tidak ada segerombolan anak yang akan mengejekku. Aku lihat
dari sudut mataku Bintang sedang di kerumuni beberapa anak. Terdengar samar
mereka sedang meledeknya. Hebatnya lagi saudara kembarku itu hanya tersenyum
senang.
Disisi lain aku lihat
dia juga dalam kondisi yang sama dengan saudara kembarku. Tanpa kumau dia
melihat kearahku dan tanpa kupanggil, ia menghampiriku dengan setengah berlari.
“Hai,” ia tersenyum
samar. Terlihat sekali ia salah tingkah. Melihatnya seperti itu aku jadi ikut
salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tak mungkin gatal karena ia mirip
sekali dengan model iklan shampo di teve.
“Hmm, sebenarnya ada
yang mau gue omongin sama elo dan saudara kembar loe.”Ia mulai tegang.
Kira-kira apa ya yang mau dia omongin sama kita. Jawaban untuk kita berdua?
Jelas bukan. Diantara
kami belum ada yang melangkah sejauh itu. Atau mungkin ia ingin mengklarifikasi
kesalahpahaman selama ini? Ya, itu yang kurasa paling mendekati kebenaran.
Kulihat dia mulai berjalan dan aku mengikutinya dan disusul Bintang. Dan
kulihat Clarice, adikku, berjalan memasuki kampus.
Kami duduk berempat
mengelilingi meja bundar di kantin kampus. Semua pasang mata tentunya sedang
terpusat kepada kami. Bukan hanya mahasiswa dan mahasiswi, tapi juga para
penjaga kantin. Jadi gosipnya udah udah sampe ke telinga penjaga kantin nih?
Clarice duduk tepat
disebelah Dani. Aku tidak tau dia punya keberanian apa, hingga datang dan duduk
tetap disebelahnya.
“Ada satu hal yang
perlu aku perjelas disini.” Kudengar dia memulai pembicaraan. Kurenggangkan
otot yang daritadi kaku.
“Aku sudah punya
pacar.” Kuangkat sedikit kepalaku, kemudian kulihat dia menoleh kearah Clarice.
Dan tanpa keterangan selanjutnya, aku tahu. Meraka pacaran.
Seketika wajahku
memerah. Sial. Kami berdua—aku dan Bintang—telah dipermalukan dan dikalahkan
oleh si kecil Clarice. Adik yang selalu kami banggakan, yang kami jaga dari
kecil. Keluarga macan apa ini kakak-adik saling berebut cowok?
Kami
sempat terdiam untuk beberapa saat. Samapi akhirnya Dani beranjak pergi dan
kami semua mengikut. “Aku yakin, pasti kau yang memberitahu mereka.” Aku
berbicara pada Clarice yang mulai berjalan mengikuti Dani. “Aku sedang
membicarakan drama.”
Dia
hanya tersenyum dan beranjak pergi.Aku mendegnaus sebal melihat tingkahnya.
Sebentar kemudian dia menoleh kebelakan dan berbicara tanpa suara, dia milikku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thankyou for reading
sincerely,
Mensiska J. Suswanto