cerpen ini, bukan cerpen terbaruku atau bahkan cerpen terbaikku. ini terbukti dengan gagalnya cerpen ini di salah satu lomba ^^
Dan, aku pikir ada baiknya jika aku share ke kalian semua.. biar aku tau kekuranganku ^^
So...
beri jejakmu yaa dengan LIKE atau COMMENT ^^
supaya aku tau kesalahanku...
Gamsahamninda~
First
Love Nothing Last Forever...
Oleh : missyoe
Ini bukan yang pertama kalinya aku melihatnya... Lama-kelamaan
tumbuh suatu suatu rasa yang membuat hatiku terasa hangat. Tetapi, terkadang
merasa menyejukkan. Orang bilang, rasa ini cinta...
Tak
pernah terbesit di otakku, rasa ini akan jatuh kepada orang yang menurutku
takkan pernah tergapai. Dia, adalah bintang yang takkan pernah kugapai.
Aku,
bagai bulan diantara bintang. Mereka memiliki sinarnya. Sedangkan aku? Aku
hanya mengambil cahaya matahari dan berusaha menunjukkan diriku diantara
kegelapan. Dan, aku takkan mampu bersanding dengan bintang!
YYY
“Aku
rasa sebaiknya kau ungkapkan rasamu itu kepadanya.” Nasihat Lolita ketika kami
sedang duduk menikmati kopi kami di sebuah kafe langganan kami.
“Hmm,
aku rasa tidak semudah itu, Loli...” aku menyesap kopiku dalam-dalam. Cuaca
sedang sangat dingin, memang paling pas untuk minum kopi.
“Tapi
dengan begitu kau akan merasa lebih baik, dan semuanya juga akan terasa lebih
baik. Dan mungkin saja itu bisa mengubah persepsimu tentang cinta pertamamu,
kalau kau tidak bisa menggapai “bintangmu” itu.”
Diam-diam
aku menyimpan baik-baik perkataan Loli dalam hati. Dan, yah, sedikit banyak aku
sudah mengubah keputusanku. Ya, mungkin aku memang harus mengungkapkannya.
Tanpa
sadar aku menggebrak meja, “Aku pergi dulu.” Kataku sembari bangkit dari kursi
dan menginggalkan Loli dan panggilan-panggilannya.
YYY
Kakiku
bergerak cepat menuju Alicia’s School—sebuah
sekolah bertaraf internasional, berbasis komputerisasi, dan dengan seragam yang
sangat disukai : bebas!
Aku
memperlambat kakiku ketika melewati kerumunan orang disekitar majalah dinding.
Aku mengalihkan perhatianku ke papan hitam itu. Sebuah poster bergambar seorang
pria sedang tersenyum memegang medali emas. Ya, itu dia, bintang dihatiku.
Dan,
“dia” juga alasanku kembali ke sekolah di hari yang sudah siang ini. Aku akan
mengungkapkan rasaku ini. Mungkin ini memang ide tergila yang pernah terbesit
di kepalaku. Tapi, kembali ke nasihat Loli, semuanya akan menjadi lebih baik.
Meskipun aku tidak mendapatkan jawaban yang aku inginkan nantinya.
Ya,
sebaris kalimat itulah yang mendorongku berdiri di tengah lapangan, mencari
sosoknya yang sebenarnya sangat eye
catching.
Dan,
kemudian kulihat “dia” disana. Tersenyum menggandeng tangan—yang sudah jelas
bukan tanganku—dengan begitu erat.
Seketika
itu aku tahu, aku telah kehilangan—walaupun sebenarnya aku memang tidak pernah
mendapat kesempatan untuk mendekatinya.
Aku
sadar, cinta ini, bagaikan dua garis sejajar yang tidak akan pernah menemukan
titik untuk bertemu. Aku, takkan pernah bisa menggapai bintang. Tapi, jika
saatnya tiba, akan kukepakkan sayapku untuk menggapai bintang.
YYY
7 tahun kemudian...
Ini
kepulangan pertamaku setelah 7 tahun lulus SMA. Aku berniat mengunjungi Alicia’s School. Sekedar bernostalgia
dengan masa lalu, dengan “bintang”
dihatiku...
Suasana
sekitar AS tidak jauh berbeda dengan saat kutinggalkan. Aku menikmatinya,
karena itu semua mengingtkanku akan masa-masa terindah, masa-masa dimana kau
pertama merasakan perasaan...
Aku
tersentak kaget ketika seseorang keluar dari sebuah outlet dan melihat “bintang”ku
baru saja keluar dari sana. Chris. Dia melihatku. Tidak. Lebih tepatnya dia
menatapku. Sedetik kemudian dia menarik ujung bibirnya membentuk seutas senyum
yang tidak pernah kulihat—setidaknya hanya untukku.
“Kau
alumni AS, bukan?”astaga, apa benar ia berbicara denganku—sesuatu yang bahkan
tidak pernah bisa kuimpikan.
“Sepertinya
dulu aku pernah melihatmu. Katakan, apa
aku salah?” Ia tetap tidak meninggalkan senyumnya. Membuatku terdiam,
menikmatinya. “Diam, berarti benar.” Ia memberi jawaban atas pertanyaannya
sendiri. Senyumnya semakin mengembang.
Aku
tersenyum. Dan, kalau aku tidak salah, itu membuatnya menjadi salah tingkah.
Benarkah?
Kemudian,
semuanya berjalan begitu saja. Ia mengajakku ke AS yang memang sebenarnya
adalah tujuanku. Dan, dari perjalanan singkat itulah aku tahu bahwa saat ini
dia sudah menjadi arsitek. Sebuah kebanggaan muncul dibenakku karena mencitai
seseorang yang begitu hebat.
Dan,
dia juga berkata betapa seringnya ia melihatku sedang menulis di taman. Aku
senang, ternyata ia memperhatikanku. Ataukah, ini hanya perasaanku saja?
Bolehkan aku berharap?
YYY
Esoknya
aku bertemu dengan Loli di sebuah kafe langganan kami saat SMA dulu. Aku
benar-benar tidak menyangka, dia sekarang adalah pemilik kafe itu. Ia
mengatakan betapa sering ia kesana, bahkan setelah kami lulus. Dan, akhirnya ia
memutuskan untuk membelinya
Aku
memesan cukup banyak setelah ia mengatakan akan memeberi gratis atas
pesanan-pesananku.
“Hey,
kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan!” Ungkapnya menyadari aku
memanfaatkan kesempatan emas ini.
“Oh,
ayolah... Anggap saja ini adalah hadiah untukku karena sudah menjadi penulis.
Hahahahaha....” aku tertawa manyadari kejahilanku.
“Yaa,
kau sudah menjadi penulis? Pantas saja, aku sepertinya pernah melihat
artikelmu. Tapi tidak aku baca, karena aku pikit itu bukan dirimu.” Ia berkata
menggebu-gebu. “Hey, kau harus mentraktirku!”
“Baiklah...baiklah...lain
kali. Tapi yang pasti bukan disini.”
“Ah
tidak! Aku hanya bercanda. Lupakan...” tiba-tiba ia tersenyum dan sedetik
kemudian memekik, membuatku kaget dan beberapa pelanggannya menatap kami heran.
Setalah
memberi isyarat pada meraka bahwa kami baik-baik saja, ia mulai bercerita. “Kau
tau, sekitar seminggu yang lalu aku bertemu dengan “bintang”mu itu.” Katanya
menggebu-gebu.
Aku
hanya tersenyum geli mengingat bahwa baru kemarin aku bertemu denannya. “Kemarin—baru saja kemarin—aku
bertemu dengannya. Kami bertemu di ujung jalan sana,” aku menunjuk ujung jalan
di luar sana.
“Dia
mengajakku ke AS. Kami menghabiskan waktu bersama selama disana. “ aku berhenti
dan tersenyum dan mengingat hari itu.
Loli
tersenyum mendengar penjelasanku. “Aku rasa hari itu harus diulang.” Dia
tersenyum penuh arti.
YYY
Aku rasa ini memang yang aku tunggu-tunggu saat kami
bertemu untuk yang kedua kalinya beberapa hari lalu dan ia mengajakku untuk
bertemu lagi. Dan, terjadilah hari ini.
Kami duduk disalah satu meja di sebuah kafe di tengah
kota. Desainya minimalis dengan bunga lili sebagai dasarnya. Sebuah lagu dari
Cho Kyuhyun-Seven years menemani
kami.
“Ini mungkin sesuatu yang mendadak. Tidak. Ralat,
maksudku sangat mendadak. Dan mengejutkan, karena aku juga tidak pernah
memikirkan ini sebelumnya,” ia menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa,
tingkah lakunya itu terkesan salah tingkah dimataku. Tapi, benarkah seorang
bintang dari AS bisa salah tingkah di depan seseorang sepertiku?
Aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan, sehingga aku
memilih untuk diam. Sementara ia terlihat bingung mencari kata yang tepat untuk
mengatakan sesuatu yang sepertinya membuatnya kesulitan.
“Hm, aku rasa aku ingin memulai sesuatu yang lebih jauh
dengamu. Aku ingin kita bisa bersama...” ia berhenti sejenak. “Ah, aduh, aku
bukan orang yang pintar merangkai kata sepertimu.”
Mukanya memerah, matanya tak fokus. “Aku rasa kau tau
maksudku.” Dia mulai menatapku. Aku menunduk.
Tidak. Ini bukan bintang yang bersinar itu. Ini bukan
Chris yang aku suka. Karena Chris yang aku suka, adalah seseorang yang bahkan
tidak mengatahui namaku. Tidak akan duduk didepanku dan bahkan salah tingkah
karenaku.
Tidak. Entah mengapa aku tidak merasakan getaran-getaran
halus ditubuhku. Tidak ada reaksi apapun untuk merespon perkatannya. Dan, aku
sadar, ini bukan 7 tahun yang lalu saat aku benar-benar menyukainya—bahkan
mencintainya. Ini adalah 7 tahun setelahnya. Saat semuanya sudah berlalu, dan
aku terbiasa tanpanya.
Aku mengangkat kepalaku. Kepalaku terasa pening. Matanya
menatap lurus kemataku. “Emm, hanya satu kata yang aku katakan, jadi dengarkan
baik-baik.”
“Hari ini tidaklah sama dengan tujuh tahun yang lalu...”
aku tak berani menatap matanya.
Mendengar perkataanku, ia tertawa, sebelah
tangannya menutupi sebagian wajahnya yang memerah. Membuatku bingung setengah
mati mengingat baru saja aku menolaknya.
“Kau tau, siapa sutradara dibalik semua ini?” aku tak
memahami ucapannya. “Lolita. Loli, dia sahabatmu kan? Sekitar dua minggu yang
lalu kami bertemu. Dia mengatakan semuanya padaku.” Lagi, ia tersenyum pahit.
“Semuanya?”
“Ya, semuanya.
Tentang perasaanmu, tetang mimpi-mimpimu.”
“Ta...tapi, apa maksudnya?” aku mulai emosi. Apa
maksudnya ini? Mengapa Loli melakukan ini padaku?
“Tunggu, kau jangan salah paham. Ia hanya ingin kau
sadar, bahwa saat ini tidak sama dengan tujuh tahun yang lalu, persis sepeti
jawabanmu. Dan kurasa caranya itu benar-benar tepat.” Ia ternyum sangat manis.
“Yah, maafkan aku kalau caraku membuatmu tak suka.” Kata
Loli saat kami bertemu setelah acara ‘penembakkan’ itu. Kami duduk di kafe
miliknya.
“Tidak, tidak. Kau benar-benar hebat. Kalau kau tidak
melakukan ini, kurasa aku akan terbayang-bayang olehnya seumur hidupku.Tapi,
sejujurnya aku sedikit tidak enak pada Chris.”
Ia tersenyum. “Aku
hanya membantumu keluar dari cinta pertamamu yang terus membayangimu. Hey, kurasa
itu karena kau tidak pernah bertemu degnan pria yang lebih dari Chris. Dan
masalah Chris, dia sendiri yang menawakan dirinya untuk membantu.”
“Ah, benarkah? Aku lega mendengarnya. Dan, Loli, kau
tahu? Aku tersadar akan satu hal,” Loli menatapku seakan ingin tahu. “...bahwa first love nothing last forever.”
YYY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thankyou for reading
sincerely,
Mensiska J. Suswanto