Tempo hari, Ibu pernah bilang
kalau segala sesuatu yang di paksakan itu tidak akan baik hasilnya. Saat itu
aku masih kecil dan hanya bisa mengiyakannya. Tapi, kini, aku seakan baru
teringat setelah lama memori itu terpendam. Aku meyesal telat sekali memahami
perkataan Ibu. Sekarang, aku harus bagaimana terhadap hubunganku dengan Si’am?
Si’am
cowok yang baik, aku tahu itu jauh sebelum kita dekat seperti sekarang ini. Dia
anak kedua dari dua bersaudara alias anak bungsu. Tapi, sifatnya sama sekali
tidak manja, mungkin karena di cowok. Gerak-geriknya cenderung halus dan sopan
terhadap perempuan. Ya, dia memang anak yang sayang pada Ibunya.
Tapi,
apa kriteria ‘baik-baik’ bisa membawa hubungan ini semulus dugaanku? Semakin
lama hubungan kami tampak hambar. Kita tidak pernah bertengkar seperti pasangan
lain sejak kami berhubungan selama 5 bulan. Dia selalu mengalah padaku. Yahh,
bukannya aku mengharapkan sebuah pertengkaran. Tapi, dia tidak pernah
mengungkapkan keinginannya padaku. Aku takut barangkali selama 5 bulan ini dia
terpaksa menjalani hubungan ini denganku. Aku takut, dia merasa tertekan dan
tidak bebas.
Di
sisi lain, aku juga tidak 100 % benar dalam hubungan ini. Aku tidak sepenuhnya suka
padanya. Karena selama ini persahabatan kami baik-baik saja, makanya ketika dia
mengajakku memulai ke sesuatu yang lebih serius aku mengiyakannya. Tapi, siapa
sangka bukannya hubungan kita semakin baik, yang ada hanya kekikukkan.
Aku
paham sekarang. Perasaanku pada Si’am selama itu hanya paksaan. Karena aku tidak
memiliki rasa lain selain sebagai sahabat padanya. Tapi, dalam 5 bulan itu, aku
selalu mencoba untuk menyukainya. Pepetah mengatakan : “Witing tresno jalaran saka kulino.” Tapi, ternyata pepatah itu
tidak berlaku padaku.
Aku
beranikan bertanya pada Si’am. “Am. Perasaan kamu ke aku gimana sih sebenarnya?
Bukanya apa, tapi aku hanya ingin kita lebih terbuka terhadap perasaan kita
masing-masing.” Aku tersenyum padanya. Kalau aku pasang tampang marah, atau
tegang atau kaku, aku takut dia salah paham.
“Ehm.
Gimana ya?” Si’am tersenyum sambil melihat kearahku. Tapi, pandangannya
menerawang, mungkin lagi mencari jawaban yang pas. Apa pertanyaanku begitu
sulit ya? “Aku menganggap kamu sudah seperti tanggung jawab aku. Aku selalu
memikirkanmu di waktu senggangku. Dan setiap itu, aku merasa... tenang? Senang?
Yang penting, aku nggak pernah berpikiran untuk nyakitin kamu.”
Si’am
bukan orang yang romantis. Dia juga bukan orang yang suka bicara. Dia cenderung
mengungkapkan apa yang dirasakannya melalui tindakan. Makanya, aku tahu sekali,
kalau dia pasti sulit untuk mengucapkan itu tadi dan cukup membuatku terharu
sekaligus tenang.
Lalu
pertanyaannya, bagaimana perasaanku sendiri? Aku binggung. Mungkin aku perlu
waktu untuk berpikir. Makanya, beberapa hari ini aku menjaga jarak dengannya,
agar aku lebih mantap dengan hatiku, tentang apa yang sebenarnya kurasa.
Namun,
diam bukan cara yang ampuh. Aku harus jujur kepada Si’am. Dia orang yang cukup
dewasa. Aku harap dia bisa memahami apa yang aku sampaikan sehinggak tidak
terjadi kesalahpahaman. Aku tidak mau menjalani hubungan yang kurang ‘sreg’.
“Am,
aku mau bicara.” Ucapku sambil menarik lengannya untuk mencari tempat yang
nyaman. Aku memutuskan untuk bicara di bawah pohon dekat lapangan saja.
“Sudah
makan ‘kan?” Tanyanya selagi berjalan di belakangku.
“Sudah.
Hmmm..”
Si’am
hanya diam. Tidak menagihku yang katanya mau membicarakan sesuatu. Dia memang
orang yang sangat pengertian.
“Aku
binggung.” Aku menatapnya dengan mata yang gelisah. Langsung ke manik matanya.
Berharap dia bisa tahu sendiri dari dalam mataku sehingga aku tidak perlu
mengunggkapkan hal berat ini. Juju itu menyenangkan, tapi, untuk melakukannya
susah sekali.
Tapi,
Si’am sekali lagi hanya dia. Kali ini aku tak tahu, diamnya kali ini berarti
apa.
Akhirnya
aku memutuskan melanjutkan, “Aku merasa... kita sedikit hambar.” Aku berharap
tidak cukup menyinggung perasaannya. Aku takut dia merasa kecewa kepadaku. Dia
orang yang sangat baik, aku tidak sampai hati menyakiti dia.
“Hahaha!”
Setelah hening sekian detik yang rasanya menyiksa (karena menunggu itu tidak
enak) Si’am hanya tertawa. Matanya hanya membentuk garis ketika ia tertawa,
gigi putihnya juga terlihat jelas. “ternyata kita sama. Aku juga merasa
akhir-akhir ini kita kurang komunikasi. Atau bahkan dari awal kita kurang
komunikasi.”
“Huft.
Syukurlah kamu tidak marah.” Aku merasa lega.
“Kenapa
aku harus marah terhadap orang yang kusayangi yang sedang berusaha jujur? Aku
malah menghargai itu. Sangat.” Dia terseyum.
Betapa
bodohnya aku, ternyata senyumnya mirip senyum Jang Woo Young 2PM. “Lalu?”
“Eh?”
Dia tampak sedang berpikir. Lalu, tidak seperti Si’am yang biasa, ia tersenyum
seperti bercampur malu dan senang. “Kita mulai dari awal lagi!”
Sepertinya,
bukan hanya Si’am saja yang berubah saat ini, aku juga. Aku senyum-senyum
seperti anak kecil yang mendapatkan banyak coklat dan permen. Aku juga, tapi
aku mendapatkan yang lebih dari sekedar coklat dan permen.
nma co e ndeso nmen.
BalasHapustrus bsa nyambung e k jang woo young?hha
tp bgus ka crita e.