Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^

Sabtu, 03 Desember 2011

Si'am


Tempo hari, Ibu pernah bilang kalau segala sesuatu yang di paksakan itu tidak akan baik hasilnya. Saat itu aku masih kecil dan hanya bisa mengiyakannya. Tapi, kini, aku seakan baru teringat setelah lama memori itu terpendam. Aku meyesal telat sekali memahami perkataan Ibu. Sekarang, aku harus bagaimana terhadap hubunganku dengan Si’am?
                Si’am cowok yang baik, aku tahu itu jauh sebelum kita dekat seperti sekarang ini. Dia anak kedua dari dua bersaudara alias anak bungsu. Tapi, sifatnya sama sekali tidak manja, mungkin karena di cowok. Gerak-geriknya cenderung halus dan sopan terhadap perempuan. Ya, dia memang anak yang sayang pada Ibunya.
                Tapi, apa kriteria ‘baik-baik’ bisa membawa hubungan ini semulus dugaanku? Semakin lama hubungan kami tampak hambar. Kita tidak pernah bertengkar seperti pasangan lain sejak kami berhubungan selama 5 bulan. Dia selalu mengalah padaku. Yahh, bukannya aku mengharapkan sebuah pertengkaran. Tapi, dia tidak pernah mengungkapkan keinginannya padaku. Aku takut barangkali selama 5 bulan ini dia terpaksa menjalani hubungan ini denganku. Aku takut, dia merasa tertekan dan tidak bebas.
                Di sisi lain, aku juga tidak 100 % benar dalam hubungan ini. Aku tidak sepenuhnya suka padanya. Karena selama ini persahabatan kami baik-baik saja, makanya ketika dia mengajakku memulai ke sesuatu yang lebih serius aku mengiyakannya. Tapi, siapa sangka bukannya hubungan kita semakin baik, yang ada hanya kekikukkan.
                Aku paham sekarang. Perasaanku pada Si’am selama itu hanya paksaan. Karena aku tidak memiliki rasa lain selain sebagai sahabat padanya. Tapi, dalam 5 bulan itu, aku selalu mencoba untuk menyukainya. Pepetah mengatakan : “Witing tresno jalaran saka kulino.” Tapi, ternyata pepatah itu tidak berlaku padaku.
                Aku beranikan bertanya pada Si’am. “Am. Perasaan kamu ke aku gimana sih sebenarnya? Bukanya apa, tapi aku hanya ingin kita lebih terbuka terhadap perasaan kita masing-masing.” Aku tersenyum padanya. Kalau aku pasang tampang marah, atau tegang atau kaku, aku takut dia salah paham.
                “Ehm. Gimana ya?” Si’am tersenyum sambil melihat kearahku. Tapi, pandangannya menerawang, mungkin lagi mencari jawaban yang pas. Apa pertanyaanku begitu sulit ya? “Aku menganggap kamu sudah seperti tanggung jawab aku. Aku selalu memikirkanmu di waktu senggangku. Dan setiap itu, aku merasa... tenang? Senang? Yang penting, aku nggak pernah berpikiran untuk nyakitin kamu.”
                Si’am bukan orang yang romantis. Dia juga bukan orang yang suka bicara. Dia cenderung mengungkapkan apa yang dirasakannya melalui tindakan. Makanya, aku tahu sekali, kalau dia pasti sulit untuk mengucapkan itu tadi dan cukup membuatku terharu sekaligus tenang.
                Lalu pertanyaannya, bagaimana perasaanku sendiri? Aku binggung. Mungkin aku perlu waktu untuk berpikir. Makanya, beberapa hari ini aku menjaga jarak dengannya, agar aku lebih mantap dengan hatiku, tentang apa yang sebenarnya kurasa.
                Namun, diam bukan cara yang ampuh. Aku harus jujur kepada Si’am. Dia orang yang cukup dewasa. Aku harap dia bisa memahami apa yang aku sampaikan sehinggak tidak terjadi kesalahpahaman. Aku tidak mau menjalani hubungan yang kurang ‘sreg’.
                “Am, aku mau bicara.” Ucapku sambil menarik lengannya untuk mencari tempat yang nyaman. Aku memutuskan untuk bicara di bawah pohon dekat lapangan saja.
                “Sudah makan ‘kan?” Tanyanya selagi berjalan di belakangku.
                “Sudah. Hmmm..”
                Si’am hanya diam. Tidak menagihku yang katanya mau membicarakan sesuatu. Dia memang orang yang sangat pengertian.
                “Aku binggung.” Aku menatapnya dengan mata yang gelisah. Langsung ke manik matanya. Berharap dia bisa tahu sendiri dari dalam mataku sehingga aku tidak perlu mengunggkapkan hal berat ini. Juju itu menyenangkan, tapi, untuk melakukannya susah sekali.
                Tapi, Si’am sekali lagi hanya dia. Kali ini aku tak tahu, diamnya kali ini berarti apa.
                Akhirnya aku memutuskan melanjutkan, “Aku merasa... kita sedikit hambar.” Aku berharap tidak cukup menyinggung perasaannya. Aku takut dia merasa kecewa kepadaku. Dia orang yang sangat baik, aku tidak sampai hati menyakiti dia.
                “Hahaha!” Setelah hening sekian detik yang rasanya menyiksa (karena menunggu itu tidak enak) Si’am hanya tertawa. Matanya hanya membentuk garis ketika ia tertawa, gigi putihnya juga terlihat jelas. “ternyata kita sama. Aku juga merasa akhir-akhir ini kita kurang komunikasi. Atau bahkan dari awal kita kurang komunikasi.”
                “Huft. Syukurlah kamu tidak marah.” Aku merasa lega.
                “Kenapa aku harus marah terhadap orang yang kusayangi yang sedang berusaha jujur? Aku malah menghargai itu. Sangat.” Dia terseyum.
                Betapa bodohnya aku, ternyata senyumnya mirip senyum Jang Woo Young 2PM. “Lalu?”
                “Eh?” Dia tampak sedang berpikir. Lalu, tidak seperti Si’am yang biasa, ia tersenyum seperti bercampur malu dan senang. “Kita mulai dari awal lagi!”
                Sepertinya, bukan hanya Si’am saja yang berubah saat ini, aku juga. Aku senyum-senyum seperti anak kecil yang mendapatkan banyak coklat dan permen. Aku juga, tapi aku mendapatkan yang lebih dari sekedar coklat dan permen.

1 komentar:

  1. nma co e ndeso nmen.
    trus bsa nyambung e k jang woo young?hha
    tp bgus ka crita e.

    BalasHapus

Thankyou for reading


sincerely,
Mensiska J. Suswanto