Halaman rumah paman Ketut
memiliki taman bermain yang cukup luas. Di sana terdapat jungkat jungkit dan
beberapa mainan anak-anak. Terang saja, karena kedua anaknya masih SD dan
sangat senang bermain. Dan di sanalah aku sekarang ini. Bukan aku sendiri. Banyak
orang di sana.
Paman
Ketut adalah suami dari adik mamaku alias tanteku. Tante Rima menikah dengan
orang Bali yaitu Paman Ketut 7 tahun yang lalu. Mereka di karuniai 2 orang
anak, laki-laki dan perempuan. Kalau dipikir-pikir, aku yang paling bahagia
dengan pernikahan mereka. Kenapa? Aku jadi punya keponakan yang selama ini aku
inginkan karena aku tdak punya adik. Aku juga bisa sering-sering ke Bali dengan
alasan mau mengunjungi keponakan kesayanganku. Itu memang benar, tapi aku juga
senang mengunjungi pantainya. Itung-itung cuci mata. Hahaha.
Paman Ketut yang sarjana pendidikan mengajar
di salah satu SMA di Bali. Dan sekarang beberapa muridnya mengunjungi rumah
paman dalam rangka mengisi hari libur panjang mereka. Sebenarnya, ini bukan
inisiatif mereka semata, Paman Ketut juga sering mengundang muridnya untuk
bertandang kerumahnya yang cukup luas.
Dan,
di sinilah aku, tersisih dari gerombolan anak SMA itu. Mereka banyak sekali
meski Paman bilang tidak seluruh murid di kelasnya datang. Mereka mengobrol
dengan teh hangat yang di sajikan oleh tante Rima dengan logat Bali mereka.
Aku
ingin main jungkat-jungkit, tapi ada yang memakainya. Jadi,a aku memutuskan
nanti saja.
“AAAAARRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGHHH!!!!!
TOLONGGGGG!”
Jantungku
hampir copot. Lelaki yang memakai kemeja kotak-kotak biru tua meringis
ketakutan saat bermain salah satu permainan anak-anak yang berputar-putar dan
ia duduk di atasnya. Sepertinya bukan lelaki itu sih yang memutarnya, melainkan
temannya yang berdiri sambil tertawa di sampingnya.
Di
sisi lainnya ada perempuan yang tertawa senang melihatnya. Kutebak, perempuan
itu adalah kekasihnya. Karena, di matanya seperti ada sinar kasih saat
memandang lelaki itu.
Dan
ketika lelaki itu turun, ia menghambur ke selokan dan...bisa kau tebak sendiri
apa yang ia lakukan di sana.
Paman
ketut yang melihat itu ikut tertawa bersama anak yang lain. di sela-sela
tawanya, ia memintaku mengambilkan handuk di dalam kamar tamu. Mau tak mau, aku
mengambilkan satu untuknya. Sebenarnya aku sedikit tidak suka dengan lelaki
itu. Dia tampak seperti anak manja yang merepotkan.
“Nih!”
Aku menyerahkan handuknya pada perempuan di dekatnya yang kuketahui namanya
Putu—begitulah temannya memanggilnya. Putu mengambil handuk yang kuberikan dan
memberikannya pada kekasihnya yang baru saja mencuci muka dengan sebotol air
mineral. Aku mengawasinya.
Deg!
Aku
bukan orang yang mudah terpesona. Tapi, wajah lelaki itu lebih mirip orang Jawa
dari pada orang Bali. Rahangnya juga kotak yang membuatnya semakin.... tak bisa
di ungkapkan.
Apa
yang aku lakukan? Aku tak boleh begitu pada lelaki orang. Aku tidak suka dianggap
pengrusak hubungan orang. Katanya, jika ada
lelaki dan perempuan sedang berduaan, orang ketiganya adalah setan. Aku
takut pada setan dan aku sendiri tak suka di katakan sebagai setan.
Tapi,
balik lagi ke pemikiran awal. Apa benar aku tak boleh mengagumi wajah seseorang
lelaki? Terlepas dari statusnya?
***
“Bli
Made! Boleh aku pinjam handphone nya?” Putu memang perempuan yang manis dan
tipe orang yang bisa membuat orang di sekelilingnya merasa nyaman.
Aku
memang nggak pernah membayangkan akan dapat mengobrol bengini asyik dengan
murid-murid Paman Ketut. Tapi, ini nyata! Kami sedang berada di teras rumah,
dan duduk bersama-sama di lantai yang dingin. Hujan turun dengan derasnya tapi
kami tidak merasa terganggu. Tante Rima menghidangkan Teh Manis hangat lagi
untuk kami, agar kami tidak berhenti mengobrol karena kehausan.
“Boleh.
Untuk apa?” Bli Made mengeluarkan handphonenya sambil bertanya balik.
“Handphoneku
mati. Aku mau mengabari ibu dulu di rumah agar tidak khawatir dengan ku.”
“Iya.
Kabari ibumu agar tidak khawatir...” Bli Made tersemyum.
“Ajeng.
Ceritakan pada kita dong tempat tinggal kamu di jawa.” Nyoman menatapku dan
nyengir lebar.
“Eh?”
“Jangan
seperti Made, ibunya orang Jawa tapi tidak pernah ke Jawa sama sekali. Hahaha.”
“Oya?”
Aku bertanya pada Bli Made. Bli Made nyengir sambil memasukkan handphonenya ke
saku celanya.
Aku
sempat mendengar Putu mengucapkan, “Terima kasih, Bli.” Tapi Bli Made malah
menatapku.
“Iya.
Sempat mau ke Jawa, kok. Cuma ketinggalan pesawat. Haha.” Bli Made tertawa.
“Ibu
Bli Made aslinya Jawa apa?”
“Jawa
Tengah, Solo.”
“Ohh...
orang keraton?”
“Bukan
lah. Haha.”
Lalu,
kami semua saling bercerita tentang kebiasaan masing-masing.
***
“Jadi,
nama lengkapmu siapa?” Tanya Bli Made saat sedang bermain jungkat-jungkit di
hari lainnya.
“Ajeng
Pratiwi.” Aku menyebutkan namaku dengan bangga.
“Jawa
banget. Haha”
“Biar.
Nama Bli juga Bali banget.” Aku cemberut.
“Suka-suka
dong.”
“Suka-suka
aku juga dong.” Aku tak mau kalah.
“Jutek
amat. Pacarmu pasti sabar banget yah bisa menghadapi kamu yang galak. Hahaha.”
Bli Made tertawa keras sekali.
“Aku
tidak punya pacar kok,” Mukaku memerah. “ jadi, nggak akan ada masalah kalau
aku jutek.” Aku merengut kesal.
“Oh,
haha. Enggak laku yah?” Bli Made senang sekali mengisengi orang yang mudah
marah seperti aku yah?
“Terserah
deh. Huft!” Aku menekuk dagu.
“iya
deh. Jangan marah gitu dong. Memangnya kenapa enggak pernah pacaran?” Nadanya
mulai biasa saja. Tidak mengejek. Seperti seorang kakak yang dewasa.
Aku
memutuskan untuk memeberitahunya. “Karena menyukai seseorang itu sangat
melelahkan. Kita akan selalu mengejar orang itu. Mataku juga akan selalu
mengekornya. Aku selalu ingin tahu segala tentang dia. Tapi, belum tentu dia juga
suka kepadaku. Belum tentu dia senang kuperhatikan. Jadi lelah sendiri rasanya.
Jadi, aku putuskan, I’m single but not available. Hahaha.” Rasanya senang
sekali bisa bercerita seperti itu kepada orang yang telah lebih dewasa sedikit
di bandingkan aku.
“Yah,
rasanya pasti berputar-putar.”
Aku
mengangguk setuju.
“Aku
juga tidak suka di putar-putar. Pusing dan ingin muntah.” Bli seakan hampir
muntah lagi.
Aku
masih ingat kejadian waktu Bli muntah gara-gara berputar kencang sekali di
permainan anak itu. Lalu, aku tertawa. Kami tertawa.
“Jadi...
di Bali sampai kapan?”
“Eh,
jangan keras-keras main jungkat-jungkitnya. Aku takut jatuh. Eh, kenapa?” aku
tidak memperhatikan pertanyaannya tadi.
“Sampai
kapan di Bali?” Dia tidak tampak marah meski aku tak memperhatikannya.
“Oh,
tidak pasti. Mungkin seminggu lagi. Karena 10 hari lagi aku masuk sekolah.
Kalau Bli kapan masuk sekolahnya?” Aku bertanya balik. Aku jadi tersadar,
kebersamaanku dengan yang lainnya hanya sementara.
“Sama.
Memangnya kamu kelas berapa sih?”
“Aku
kelas 11 IPS.. Bli?”
Aku
naik ke kelas 12 IPS. Hahaha. Ketemunya anak IPS lagi.”
“Jodoh
kali!”
Aku
kaget. Tiba-tiba muncul orang lain di antara kami. Bli Wayang. Aku tahu dia
hanya bercanda, tapi ucapannya tetap saja membuatku kaget.
Bli
Made hanya nyengir, ciri khasnya.
“Oya,
ngomong-ngomong, mana orang tuamu, Jeng? Dari kemarin aku tidak melihat mereka
di rumah ini?” Tanya Bli Wayang.
“Oh,
papa-mama masih di Jawa, kerjaannya belum selesai. Besok baru nyusul.”
“Ohh..”
“Oya, mana Putu? Kok dari tadi aku nggak lihat dia?” Aku celingukkan.
“Oya, mana Putu? Kok dari tadi aku nggak lihat dia?” Aku celingukkan.
“Lagi
pergi sama keluarganya.” Jawab Bli Made. Oya, Bli Made kan pacarnya yah. Aku
jadi tidak enak dengan Putu karena sudah dekat-dekat dengan Bli Made.
“Mau
kemana?” Tanya Bli Wayang ketika aku berdiri dari jungkat-jungkit.
“Minum.
Haus.” Lalu aku pergi tanpa menoleh. Tidak tahu kenapa, aku seperti sesak
napas. Dadaku seperti kosong, sakit. Apa aku masuk angin yah?
***
“Sudah
mainnya?” Tante Rima melihat ke arahku sesaat lalu sibuk dengan kuenya lagi.
Aku duduk di dekatnya.
“Aku
haus, tante.”
“Tuh
ada sirup. Udah tante buat di dalam teko. Bawa keluar sekalian yah. Biar yang
lainnya juga bisa minum.”
“Iya
tante.” Aku mengambil beberapa gelas dan nampan. Hari ini yang datang mulai
sedikit. Rata-rata punya acara dengan keluarganya.
“Wah,
Ajeng tahu aja.”
Baru
saja aku keluar aku sudah di sambut oleh orang-orang yang kehausan. Setelah
semua gelas terpakai minum, Bli Made melotot dan bertanya, “Kok Bli engga
dapat?”
Aku
tertawa melihat mukanya yang... terpukul. Hahaha. Aku memang tidak menghitung
jumlah orang yang datang. Kupikir gelasnya akan cukup. Akhirnya, aku masuk dan
mengambil gelas lagi. Tapi, ternyata tadi pagi tante Rima belum sempat mencuci.
Jadi, aku keluar dengan tangan kosong. Tidak sepenuhnya kosong sih. Aku
memegang gelas bekasku minum tadi.
“Maaf,
bli. Gelasnya habis. Belum nyuci.”
“Ya
sudah, pinjam gelasmu saja.” Bli mengambil gelas di tanganku dan mengambil
teko. Cairan berwarna orange masuk ke dalam gelas lalu ke mulutnya. Aku tidak
sempat melarangnya dan aku juga.... deg-degan.
***
“Kau
mau kemana?” Tanya Bli Wayang.
“Pasar
Sukawati!” Aku berteriak senang.
“Hari
ini kami semua janjian untuk pergi jalan-jalan. Bli Made menawarkan diri untuk
menjadi guide-ku. Aku dengan senang hati menerima yang gratisan. Haha.
“Memangnya
kau mau beli apa? Kulihat kau sudah punya banyak baju Bali.” Tanya Bli Made di
samping Bli Wayang.
“Iya,
aku beli bukan untuk aku sendiri kok. Untuk teman-temanku di Jawa.”
“Ow..oke
deh. Ayo kita berangkat.” Bli Made membukakan pintuk mobil untukku dan yang
lainnya. Kita pergi menggunakan mobil sewaan. Sayangnya yang pergi hanya
sekitar 8 orang saja. Yang lainnya tidak bisa. Tapi itu tidak masalah, kita
akan tetap bersenang-senang.
Di
pasar Sukawati aku belanja banyak. Dari baju barong, tas bali, gelang, kalung,
kain Bali, dompet, kaos baik untuk laki-laki atau perempuan. Semoga saja
seleraku disukai mereka.
Mobil
menjadi sempit dengan belanjaanku. Bli Made sampai geleng-geleng kepala. Tapi,
aku hanya tertawa. Aku sepertinya mulai terbiasa dengan mereka. Dan, yang
terpenting, aku mulai terbiasa dengan bli Made yang mengolok-olokku. Dan...
itulah masalahnya sekarang. Aku telah mendekati lelaki orang.
Di
Kuta, aku bertanya pada Bli Made.
“Putu
Ke mana, Bli? Kok tumben Bli nggak bareng Putu?”
Bli
yang lagi memandangi sunset menoleh.
“Kok
tanya aku?” Dia memandangiku seperti orang binggung.
“Lalu
aku harus tanya siapa dong?” aku ikutan binggung.
“Tanya
saja pada Wayang. Jangan padaku. Pacarnya Putu kan Nyoman, bukan aku.” Bli Made
tersenyum.
“Ohh....”
Aku tersipu di pandangi seperti itu. Wajahku sepertinya memerah. Untuk langit
mulai gelap sehingga Bli Made tidak bisa melihat rona di wajahku. Entah mengapa,
badanku terasa ringan, seperti terbebas dari beban yang selama ini menindihku.
Tapi, beban apa?
“Cemburu?”
Aku mengangkat kepalaku secepat kubisa. Kaget. Kenapa Bli Made bilang seperti
itu? Tapi, Bli hanya nyengir, khasnya.
“Hah?
Cemburu kenapa?” Aku bertanya dengan polosnya.
“Pasti
kamu pikir Putu pacarku kan, makanya kamu bertanya tentang Putu kepadaku?”
“Enggak
begitu... Bli kan temannya, apa aku nggak boleh menanyakan kabar Putu kepada
temannya?” Aku deg-degan.
“Tapi
pertanyaanmu seperti menginterogasiku tahu.”
“Oh,
kalau begitu maaf. Yuk ke sana.” Aku melihat Bli Wayang melambaikan tangannya
pada kami dari bibir pantai. Sepertinya ia dan yang lainnya sedang bermain air.
“Tunggu,
Jeng.” Bli menghentikan langkahku.
“Ya?”
Aku menoleh.
Bli
Made diam. Aku memiringkan kepalaku, menunggu ucapannya. Ketika ia tak juga
bicara, aku bertanya, “Apa, Bli?”
“Apa
kamu sama sekali nggak..... suka sama aku?” Bicaranya pelan, tapi aku
mendengarnya.
Aku
tidak mau menjawabnya, tapi matanya seperti memohon. Jadi aku jawab saja,
“Suka...” Sekali lagi mukaku memerah. Semoga Bli tidak mengejekku seperti
biasa.
Benar
saja, ia tidak mengatakan apapun, ia hanya memegang tanganku dan menggandengku
ke pesisir laut. Aku hanya menunduk memandangi kakiku yang dipenuhi pasir
pantai. Lalu, ketika kuberanikan menoleh ke samping, Bli sedang tersenyum. Aku
juga melihat bias orange dari matahari yang belum sepenuhnya terbenam.
Sekarang, aku bisa mengagumi wajahnya tanpa takut tertbentur status. Aku
bersyukur sekali.
Satu
hal lagi yang aku syukuri, Bli Wayang tidak menggodai kami sepanjang perjalanan
pulang meskipun aku tahu Bli Wayang sudah mengetahui ‘itu’. Hihihi. Aku tidak
bisa berhenti tersenyum.
***
Esoknya
di Pasar Sukawati...
Hari
ini aku minta Bli Made mengantarku dengan motornya ke Pasar Sukawati lagi
karena ada teman yang menitip minta di belikan sesuatu. Bli juga bilang ia
sedang membutuhkan sesuatu dan ingin mencarinya di sana.
Sesampainya
di Sukawati, kami berdua memaksuki salah satu kios.
“Bli
tadi bilang sedang membutuhkan sesuatu. Apa itu? Barang kali aku bisa membantu
Bli mencarinya. Jadi, apa yang Bli mau?” Kurasa aku lumanyan banyak bicara hari
ini. Tapi, Bli hanya tersenyum, khasnya.
“Aku
mau...” Bli seperti sedang berpikir keras. “Aku mau kamu.”
“Oh
itu. Bentar aku carikan dulu. Eh? Apa tadi?” aku Kaget. Kalau tadi tidak salah
dengar Bli mau apa?
“Bli
mau kamu! Hahaha.” Bli senyum-senyum jenaka. Tentu saja si penjaga kios
ikut-ikutan senyum-senyum sendiri.
Aku
yang baru sadar kalau sedang di gombali langsung tertawa dan memukul lengannya
perlahan. Mukaku pasti sudah memerah. “Ih, genit banget. Hahaha.”
Setelah
tawaku reda, aku mulai mencari barang titipan temanku. “Jadi, Bli nggak mau
beli apa-apa nih?”
“Enggak.
Bli maunya kamu, titik! “
“Ihh,
dasar gombal!”
“Tapi
kamu suka kan di gombali?”
“Enggak
tuh!”
“Sudah
ahh. Jadi beli nggak? Tuh yang punya kios marah.” Jelas sekali Bli Made
berbohong. Jelas-jelas pemilik kios sedang menahan tawanya melihat kita berdua.
“Kamu
mau beli apa sih?” Bli menawarkan bantuan. “Kain Bali ya?”
“Aku
mau beli......”
“Apa?”
Matanya melihat-lihat ke sekeliling kios.
“Aku
mau Bli...” Aku dan di pemilik kios cengar-cengir sendiri.
“Apa?
Kalau ngomong yang jelas, dong.” Bli masih sibuk melihat-lihat.
Kali
ini aku menjawab dengan suara lebih keras, “Aku mau Bli...”
Bli
Made menoleh dengan cepat. Mukanya memerah. Si pemilik kios sudah tertawa
duluan. Sedangkan aku masih menahan tawaku. Berusaha tidak terjadi apa-apa.
Melihatku
yang memasang wajah datar, Bli berasumsi ia hanya salah dengar, jadi ia
berjalan keluar toko dan membuang napas keras-keras. Si pemilik toko makin
keras tertawa.
“Ihh,
Bli! Aku bilang ‘Aku mau Bli’...” aku menghampirinya. Bli kaget sekali lagi.
Aku tak tahan untuk tidak tertawa. Bli langsung memelukku.
“Nakal,
yah!” Bli tertawa senang. Mungkin dia kaget aku bisa menggombali dia juga.
“Cintaku nggak akan berubah meski beda ruang dan waktu!”
“Hahaha!
Percaya deh...”
Semoga, jarak
Jawa-Bali tidak bisa mengahalangi hubungan kita yang manis ini...
Tegal, 28 Desember 2011
Pkl. 16.16 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thankyou for reading
sincerely,
Mensiska J. Suswanto