¯ Dulu memang aku pernah salah
Dan semuanya t'lah ku lakukan
Namun bukan berarti hidup dan cintaku
Tak tertuju padamu
Saat ini sejenak dengarkanlah sayang
Semua itu hanya perjalanan
Dan mungkin aku akan terjatuh lagi
Di kesalahan yang sama ¯
Dan semuanya t'lah ku lakukan
Namun bukan berarti hidup dan cintaku
Tak tertuju padamu
Saat ini sejenak dengarkanlah sayang
Semua itu hanya perjalanan
Dan mungkin aku akan terjatuh lagi
Di kesalahan yang sama ¯
[Kesalahan Yang
Sama_Kerispatih]
TTT
Aku duduk
tertunduk. Kedua tanganku tertumpu pada lutut, telapak tanganku meremas
rambutku dengan kencang—berharap semuanya ‘kan baik-baik saja dengan itu.
Shia—gadisku, juga tertunduk di sofa
seberangku. Kedua tangannya saling meremas. Bisa kulihat tangannya berkeringat
dingin.
Aku tahu, kesalahan ada padaku. Aku
telah menyakitinya untuk kedua kalinya. Aku yang membuat api diantara kita. Dan
aku juga yang harus memadamkannya.
Aku yang memosisikan kita di ujung
jalan, maka akulah yang harus mengembalikan ‘kita’ ketempat semula. Mungkin
dengan air yang ‘kan memadamkan amarah kita, atau, mungkin juga dengan seiring
berjalannya waktu, kau bisa memaafkanku.
Apapun itu, aku akan berusaha
mendapatkanmu kembali—seutuhnya dirimu. Dan untuk seterusnya, aku yang akan
merawat dan menjaga hubungan ini. Aku berjanji...
TTT
Tapi, semuanya tak berjalan
sesuai harapan. Semuanya tidak sejalan dengan apa yang telah aku gariskan untuk
kedepannya. Aku telah melewati hal-hal terindah dalam hidupku—ya, melewati
hari-hari bersamanya adalah hal terindah dalam hidupku. Dan parahnya, aku
melakukan itu sebanyak dua kali!
Aku tahu, luka itu begitu dalam. Sampai kata ‘maaf’ mungkin tidak bisa menyembuhkannya. Dan waktu mungkin belum tentu bisa mengembalikannya seperti semula—aku telah mengkhianati cinta yang telah tiga tahun kami rajut, merangkai satu persatu perasaan kami.
Aku tahu, luka itu begitu dalam. Sampai kata ‘maaf’ mungkin tidak bisa menyembuhkannya. Dan waktu mungkin belum tentu bisa mengembalikannya seperti semula—aku telah mengkhianati cinta yang telah tiga tahun kami rajut, merangkai satu persatu perasaan kami.
Kini, semuanya hancur—rusak begitu saja. Sesuatu yang semula kuanggap
sepele, namun berdampak fatal! Andai, ada cinta yang baru—bukan dengan insan
yang baru, tapi dengan perasaan kita masing-masing.
Kemudian aku mengangkat kepalaku, berharap perubahan yang mendasar telah
terjadi pada wajah gadisku. Dan kutatap matanya. Kita mulailah dari awal.
Merangkai lagi satu per satu cerita cinta
kita dengan cinta dan cerita yang baru. Lupakanlah kemarin, aku telah
menyakitimu, dan aku tahu, itu sakit buatmu. Maaf... Tapi kemarilah... kembali
padaku yang telah menjanjikan cerita yang baru diantara kita...
Aku menatap matanya, dalam. Berusaha merasuk kedalam hatinya, merasakan
sakit yang ia rasakan, mengurainya, dan mencoba membaginya dengannku.
Dan, sampai akhirnya aku tahu, aku tahu sesuatu yang telah kau pendam
sejak pertama kali aku melakukan kesalahanku—kau ingin berpisah denganku.
Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tahu sejak pertama kali aku
mengkhianatimu, aku sudah tidak pantas lagi buatmu. Harusnya setelah hari ini,
aku sudah harus menyerah akan dirimu.
Tapi, aku tidak bisa terima ini. Sebagian dari diriku berkata bahwa aku
tidak bisa meninggalkan dirimu. Tetapi, malah kau yang akan meninggalkanku. Ini
benar-benar tidak adil!
Ayolah, aku tahu. Luka yang aku torehkan padamu memang begitu dalam. Dan
sulit bagimu untuk memaafkanku.Tapi, tidak bisakah kau lupakan itu, barang
sejenak, dan mengembalikanku ketempat semula—di hatimu.
Dulu, aku yang selalu menempati posisi istimewa didalam sana. Begitu
lama, sampai pada akhirnya terjadi luka yang pertama. Dan aku yakin, tidak
semudah itu bagimu mengusirku dari tempat istimewaku. Butuh waktu yang lama,
dan luka yang mendalam untuk itu.
Maka dari itu, lupakanlah ucapanmu tadi, aku bisa berpura-pura tidak
mendengarnya, dan anggap tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita : luka itu,
ucapan itu, dan juga pihak ketiga itu. Dan, setelah itu hubungan kita akan
kembali seperti semula. Ya, seperi
semula.
Tapi, seperti yang kukatakan tadi, lukamu telah mendalam. Dan ini
mungkin telah menjadi keputusan terbaikmu.
Kemudian aku melihatmu berdiri, beranjak dari tempat nyamanmu, berjalan
menghampiri pintu apartemenku.
Kau melakukan hal yang sama—sama seperti sejak pertama kali aku
melakukan kesalahan yang pertama—kau memegangi daun pintu dan terdiam, ragu
dengan keputusanmu. Tapi, kali ini tidak ada sirat keraguan dimatamu. Kau hanya
menggeleng kepalamu pelang, pertanda bahwa kau menolak permintaanku.
Dan, didetik berikutnya, baru kusadari, kau sudah pergi meninggalkanku
bersama kenangan-kenangan manis kita ; bersama janji yang baru kuucap.
Sia-sia...
[Johana Yoe]