Please...

Dear Viewers,
I shared my stories, my flash fiction, or my flash true story.
So, please do not copy what is written here. If you want to copy, please provide the name of the author and the source.

Don't be a silent reader, please!
Tinggalkan jejakmu disini ^^

Thanks ^^
Tampilkan postingan dengan label Short Stories. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Short Stories. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Februari 2013

Sang Penginspirasi


Sang Penginspirasi
Untuk seseorang yang telah menjadi inspirasiku...
Taukah kamu, bahwa aku telah memperhatikanmu sejak pertama kali kita masuk SMA? Bahwa aku memperhatikanmu lebih dari pelajaran apapun... Bahwa aku menginginkanmu lebih dari apapun?
            Sang Penginspirasiku, ini aku—seseorang yang telah mencintaimu lebih dari dua tahun. Ingat? Jawabnya singkat : ya. Tentu kau mengingatku bukan? Aku—Si gadis bodoh yang kekanakan.  Kita teman sekelas saat di kelas satu—kelas X-1.
            Aku ingat, betapa konyolnya aku dulu. Demi mendapat perhatianmu, aku melakukan berbagai hal. Mencoba mengajakmu berbicara, ribut dengan teman saat pelajaran, atau bahkan menjadikanmu sebagai bahan lawakan. Tetapi aku hanya mendapat senyuman maut itu.
            Tapi, itu cukup buatku.
            “Heii, tang! Coba deh tanya nyokap lo, lo dikasih nama ‘Bintang’ pasti karena loe gelap kan? hehehe.” aku setengah berteriak dari tempat dudukku. Hari itu aku menggodai temanku—Bintang yang sedang duduk di dekat dengan Si Inspirasi.  Sedikit banyak pastinya aku akan mendapat perhatiannya.
            “Kecut! Loe ngeledek gue?”                                                 
            “Nggak kok, gue cuma nanya. Abis kayaknya loe keberatan nama.”
            Sesisi kelas tertawa, menyetujui banyolanku karena Bintang memang hitam. Sepintas kulihat Si Inspirasi menoleh kearahku dan tersenyum. Aku tahu, ia menyetujuiku juga, sama seperti yang lain.
            Sang Penginspirasiku, kumohon, lihatlah aku—seseorang yang telah menunggumu sepanjang waktu. Menantimu di gerbang sekolah hanya agar kita dapat melewatinya bersama. Tetapi, jika kau telah mendahuluiku, aku akan berlari dibelakangmu...
            Aku cukup senang dengan hal itu. Karena dengan begitu, secara tidak langsung kita sudah pulang bersama bukan?
            Sang Penginspirasiku, jangan pergi, tetaplah disini, dan mendekatlah. Aku lelah mengejarmu. Kini, biarkan aku berhenti sejenak dan duduk menantimu
            Ingin aku mendapatimu menoleh dan menjemputku disini—di tengah jalan menuju impianku. Meski aku tau—sangat tau—itu tidak akan pernah terjadi.
Aku ingat, dulu saat pelajaran Bahasa Indonesia, saat kau membuat kalimat motivasi untukmu sendiri dan membacakannya di depan kelas, kau bilang bahwa ‘nothing impossible’ tapi, untuk yang satu ini, aku tau dan sangat yakin, bahwa ada sesuatu yang tidak mungkin—dirimu.
Sang Penginspirasiku, lihatkah kamu saat aku menunggumu di depan gerbang sekolah setiap paginya, hanya untuk melewatinya bersamamu? Setiap pagi, aku berangkat lebih pagi dari yang lainnya hanya untuk menunggumu disana. Karena hanya dengan begitu kita bisa berangkat sekolah bersama.
Dengan itu juga aku tau, kau akan sampai disekolah pukul tujuh kurang lima belas menit. Dan, secara tidak langsung juga, aku mengetahui kebiasaan-kebiasaanmu yang lainnya saat aku memperhatikanmu dari kejauhan.
“Pagiii...” aku mendapati diriku menyapanya dulu. Dia yang sedang berjalan melewati gerbang, menoleh kearahku.
Astaga, senyuman itu lagi!!
            “Pagi, classmate!
Aku cukup senang. Ya, setidaknya ia mengingatku sebagai teman sekelasnya... Ini sudah kemajuan yang sangat luar biasa untuk hubungan kami. ‘Kami’? Stop it, Pauw! Berhenti membayangkannya, karena dia tidak mungkin tergapai!

Sang Penginspirasiku, mengertikah kamu, bahwa rasa ini sulit untuk ditepiskan? Meski berbagai cara telah kulakukan untuk mengingkarinya. Tetapi selalu saja gagal. Karena hati ini telah menentukan pemiliknya.
Sang Penginspirasi... kaulah pemenang atas hatiku. Kau menawarkan pesona yang sulit untuk kutolak. Kau bagaikan matahari yang menghangatkan pagiku, kau seperti asupan gizi yang kubutuhkan, dan kau adalah inspirasiku.
Sang Penginspirasku, kaulah motivasiku untuk berangkat kesekolah. Kau adalah segala tenaga yang kupunya. Dan kau membuatku bahagia dengan ini semua, dengan cara-caramu menangkap basahku yang sedang memperhatikanmu.
            Sang Penginspirasiku... andai kau tau, kaulah yang telah mendorongku mencapai titik ini. Titik dimana aku akan menemukan masa depanku. Kau yang telah menggerakan jemari ini untuk mengukir kisah diantara kita. Karena kau adalah inspirasiku— begitu banyak dan selalu ada dalam otakku.
            Tapi, kini dimana dirimu? Aku lelah menantimu di pintu gerbang, aku lelah melihat punggungmu yang menjauh, dan aku lelah dengan segala cara yang kulakukan untuk mendapat perhatianmu. Aku muak. Aku ingin kau melihatku sebagai seorang wanita...
            Sang Penginspirasi, jemput aku. Aku tersesat dalam perjalananku menemukanmu. Aku ingin kau menemukanku disini yang tenggelam dalam pesonamu. Inspirasi, tak pernah berhenti kubertanya kapan penantian ini akan berakhir?
            Inspirasi, kau tak pernah tau aku selalu menunggu hari raya hanya untuk sekedar mengirimimu pesan. Kau juga tak pernah tau aku selalu mencari-cari alasan yang tak masuk akal hanya untuk mengirimu pesan. Dan bodohnya aku, aku selalu menunggumu mengirimiku pesan, meski itu hanya salah kirim atau pesan berantai. Aku tetap menunggu...
            Sampai akhirnya, hari itu aku memberanikan diri untuk mengrimimu pesan terlebih dahulu. Hari itu adalah hari ulang tahunmu.
            Happy birthday... wish you all the best ya!
            Thanks pauw :D
            Bisa dibilang aku lupa daratan. Aku melompat kegirangan, melupakan sekelilingku yang mungkin saja terganggu dengan sikapku itu.
            Kuambil ponselku, mengetik pesan untuk sahabatku.
            Hari ini ‘dia’ ulang tahun. Aku kirimi dia pesan. Setelah sekian lama, akhirnya dia bales, tapi cuma bilang ‘thanks pauw!’ T.T
            Sekitar lima menit kemudian ponselku kembali bergetar. Ada satu pesan masuk. Inspirasi!
            Lha? Salah toh? Mintanya apa?
            Aku yang lemah otak mencoba membaca kembali conversation kami di ponselku. Dan TERNYATA pesan singkat yang seharusnya aku kirim untuk sahabatku malah aku kirim untuknya.
            Aku yang belum bisa mengembalikan diri, memutuskan untuk membalasnya seperti ini :
            Lha iya, di ucapin kok cuma gitu balesannya J
            Hatiku ketar-ketir, takut ia mengetahui perasaanku. Tubuhku melemas saking terkejutnya. Tuhan... jangan biarkan dia tau perasaanku. Jangan sampai. Biarkan aku saja yang menanggung rasa ini.
            Beberapa saat kemudian, ponselku bergetar kembali, membangunkanku dari lamunanku tetangnya.
            Wkwkwk...wahh mencurigakan :p
            Tuhan, bolehkah aku sedikit berharap??

˟˟˟
            Setelah sekian lama berdiam diri, aku mulai menuang kisah-kisahku dalam organizerku. Karena takut akan kakak laki-lakiku yang suka mengobrak-abrik isi kamarku, aku samarkan diaryku dengan kumpulan-kumpulan cerpen. Salah satunya kisah ini, yang termasuk  isi diaryku yang terbaru.
Sang Penginspirasiku, mungkin aku gila dengan menulis kisah ini dan membiarkan ratusan bahkan jutaan orang mengetahui rasaku—yang kau sendiri tidak tau.  Aku sengaja tidak memberitahumu, karena awalnya kupikir, rasa ini hanya sesaat. Tapi nyatanya, rasa ini tertanam kuat dalam sini, dihatiku.
            Inspirasiku, satu hal yang kuyakini—aku mencintaimu. Bukan rasa yang dirasakan puluhan siswi lainnya, tapi ini rasa yang berbeda, rasa yang istimewa. Hanya dariku dan hanya untukmu. Inspirasiku, jangan biarkan rasa ini keluar dari tempatnya. Biarkan berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan diyakini semua orang.
            Inspirasi, tak pernah lelah kubertanya pada diriku sendiri— kapankah hubungan ini berubah menjadi suatu yang nyata? Aku lelah dengan segala asumsiku akan dirimu. Aku ingin nyata...
            “Aku lelah...biarkan aku berhenti untuk sejenak—menunggumu disini—yang takkan pernah menjemputku”
            Andai aku dapat menutup jurang itu dengan segala cara yang telah kulakukan ; andai kau benar-benar melihatku, andai aku bisa mengutarakannya ; dan andai kau membalas rasaku. Rangkaian kalimat itu bagai mantra yang selalu kuucap disetiap tidur malamku.
            Inspirasiku... aku lelah menyebut namamu disetiap doaku. Aku lelah mengharapkanmu disini. Aku lelah menunggumu. Dan, aku lelah menyebut namamu, karena kau tak pernah menoleh.
            Inspirasi, akankah ada akhir yang bahagia bagi kisah ini?
            Ketika aku melupakan segalanya—melupakan kodratku sebagai seorang wanita, dan mungkin juga rasa maluku sudah terputus sejak pertama kali aku mencintaimu, aku datang kehadapanmu kala itu—sore hari di sekolah yang sepi, dan  aku menyatakannya.
            Inspirasi, akankah cinta ini berlabuh pada dermaga yang indah?
            Meski aku tau, cinta tak mesti memiliki, tapi, ijinkan aku memilikinya...
            Aku berjalan mendekat ke ruang XII IPA3—kelas barumu. Samar-samar kudengar suara tawa didalam sana. Dan selangkah lagi, aku dapat melihatmu didalam sana. Tapi, bukan itu yang terjadi. Aku melihat ada orang lain disana—seorang gadis yang sedang bercanda denganmu dengan memegang buku Fisika dan duduk di seberangmu.
            Aku tutup daun pintu yang membatasiku dengan mereka. Sepintas, kulihat inspirasi tersenyum samar kepadaku.
            Inpirasi, kau benar, cinta tak mesti memiliki...


˟˟˟




Biodata Penulis :

Memiliki nama pena APAUW dan bernama asli MENSISKA JOHANA SUSWANTO. Gadis kelahiran Tegal, 27 april 1995 ini jatuh cinta pada dunia tulis-menulis sejak empat tahun yang lalu. Ia sangat menyukai dunia acting dan dapur. Dan ia bermimpi, masa depannya bisa seindah pelangi.

apauw dapat di hubungi di :                          
Facebook         : Mensiska Johana Suswanto
Twitter            : @missyoe2
            

Rabu, 11 Januari 2012

Romansa Bali


Halaman rumah paman Ketut memiliki taman bermain yang cukup luas. Di sana terdapat jungkat jungkit dan beberapa mainan anak-anak. Terang saja, karena kedua anaknya masih SD dan sangat senang bermain. Dan di sanalah aku sekarang ini. Bukan aku sendiri. Banyak orang di sana.
                Paman Ketut adalah suami dari adik mamaku alias tanteku. Tante Rima menikah dengan orang Bali yaitu Paman Ketut 7 tahun yang lalu. Mereka di karuniai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan. Kalau dipikir-pikir, aku yang paling bahagia dengan pernikahan mereka. Kenapa? Aku jadi punya keponakan yang selama ini aku inginkan karena aku tdak punya adik. Aku juga bisa sering-sering ke Bali dengan alasan mau mengunjungi keponakan kesayanganku. Itu memang benar, tapi aku juga senang mengunjungi pantainya. Itung-itung cuci mata. Hahaha.
                 Paman Ketut yang sarjana pendidikan mengajar di salah satu SMA di Bali. Dan sekarang beberapa muridnya mengunjungi rumah paman dalam rangka mengisi hari libur panjang mereka. Sebenarnya, ini bukan inisiatif mereka semata, Paman Ketut juga sering mengundang muridnya untuk bertandang kerumahnya yang cukup luas.
                Dan, di sinilah aku, tersisih dari gerombolan anak SMA itu. Mereka banyak sekali meski Paman bilang tidak seluruh murid di kelasnya datang. Mereka mengobrol dengan teh hangat yang di sajikan oleh tante Rima dengan logat Bali mereka.
                Aku ingin main jungkat-jungkit, tapi ada yang memakainya. Jadi,a aku memutuskan nanti saja.
                “AAAAARRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGHHH!!!!! TOLONGGGGG!”
                Jantungku hampir copot. Lelaki yang memakai kemeja kotak-kotak biru tua meringis ketakutan saat bermain salah satu permainan anak-anak yang berputar-putar dan ia duduk di atasnya. Sepertinya bukan lelaki itu sih yang memutarnya, melainkan temannya yang berdiri sambil tertawa di sampingnya.
                Di sisi lainnya ada perempuan yang tertawa senang melihatnya. Kutebak, perempuan itu adalah kekasihnya. Karena, di matanya seperti ada sinar kasih saat memandang lelaki itu.
                Dan ketika lelaki itu turun, ia menghambur ke selokan dan...bisa kau tebak sendiri apa yang ia lakukan di sana.
                Paman ketut yang melihat itu ikut tertawa bersama anak yang lain. di sela-sela tawanya, ia memintaku mengambilkan handuk di dalam kamar tamu. Mau tak mau, aku mengambilkan satu untuknya. Sebenarnya aku sedikit tidak suka dengan lelaki itu. Dia tampak seperti anak manja yang merepotkan.
                “Nih!” Aku menyerahkan handuknya pada perempuan di dekatnya yang kuketahui namanya Putu—begitulah temannya memanggilnya. Putu mengambil handuk yang kuberikan dan memberikannya pada kekasihnya yang baru saja mencuci muka dengan sebotol air mineral. Aku mengawasinya.
                Deg!
                Aku bukan orang yang mudah terpesona. Tapi, wajah lelaki itu lebih mirip orang Jawa dari pada orang Bali. Rahangnya juga kotak yang membuatnya semakin.... tak bisa di ungkapkan.
                Apa yang aku lakukan? Aku tak boleh begitu pada lelaki orang. Aku tidak suka dianggap pengrusak hubungan orang. Katanya, jika ada  lelaki dan perempuan sedang berduaan, orang ketiganya adalah setan. Aku takut pada setan dan aku sendiri tak suka di katakan sebagai setan.
                Tapi, balik lagi ke pemikiran awal. Apa benar aku tak boleh mengagumi wajah seseorang lelaki? Terlepas dari statusnya?
***
                “Bli Made! Boleh aku pinjam handphone nya?” Putu memang perempuan yang manis dan tipe orang yang bisa membuat orang di sekelilingnya merasa nyaman.
                Aku memang nggak pernah membayangkan akan dapat mengobrol bengini asyik dengan murid-murid Paman Ketut. Tapi, ini nyata! Kami sedang berada di teras rumah, dan duduk bersama-sama di lantai yang dingin. Hujan turun dengan derasnya tapi kami tidak merasa terganggu. Tante Rima menghidangkan Teh Manis hangat lagi untuk kami, agar kami tidak berhenti mengobrol karena kehausan.
                “Boleh. Untuk apa?” Bli Made mengeluarkan handphonenya sambil bertanya balik.
                “Handphoneku mati. Aku mau mengabari ibu dulu di rumah agar tidak khawatir dengan ku.”
                “Iya. Kabari ibumu agar tidak khawatir...” Bli Made tersemyum.
                “Ajeng. Ceritakan pada kita dong tempat tinggal kamu di jawa.” Nyoman menatapku dan nyengir lebar.
                “Eh?”
                “Jangan seperti Made, ibunya orang Jawa tapi tidak pernah ke Jawa sama sekali. Hahaha.”
                “Oya?” Aku bertanya pada Bli Made. Bli Made nyengir sambil memasukkan handphonenya ke saku celanya.
                Aku sempat mendengar Putu mengucapkan, “Terima kasih, Bli.” Tapi Bli Made malah menatapku.
                “Iya. Sempat mau ke Jawa, kok. Cuma ketinggalan pesawat. Haha.” Bli Made tertawa.
                “Ibu Bli Made aslinya Jawa apa?”
                “Jawa Tengah, Solo.”
                “Ohh... orang keraton?”
                “Bukan lah. Haha.”
                Lalu, kami semua saling bercerita tentang kebiasaan masing-masing.
***
                “Jadi, nama lengkapmu siapa?” Tanya Bli Made saat sedang bermain jungkat-jungkit di hari lainnya.
                “Ajeng Pratiwi.” Aku menyebutkan namaku dengan bangga.
                “Jawa banget. Haha”
                “Biar. Nama Bli juga Bali banget.” Aku cemberut.
                “Suka-suka dong.”
                “Suka-suka aku juga dong.” Aku tak mau kalah.
                “Jutek amat. Pacarmu pasti sabar banget yah bisa menghadapi kamu yang galak. Hahaha.” Bli Made tertawa keras sekali.
                “Aku tidak punya pacar kok,” Mukaku memerah. “ jadi, nggak akan ada masalah kalau aku jutek.” Aku merengut kesal.
                “Oh, haha. Enggak laku yah?” Bli Made senang sekali mengisengi orang yang mudah marah seperti aku yah?
                “Terserah deh. Huft!” Aku menekuk dagu.
                “iya deh. Jangan marah gitu dong. Memangnya kenapa enggak pernah pacaran?” Nadanya mulai biasa saja. Tidak mengejek. Seperti seorang kakak yang dewasa.
                Aku memutuskan untuk memeberitahunya. “Karena menyukai seseorang itu sangat melelahkan. Kita akan selalu mengejar orang itu. Mataku juga akan selalu mengekornya. Aku selalu ingin tahu segala tentang dia. Tapi, belum tentu dia juga suka kepadaku. Belum tentu dia senang kuperhatikan. Jadi lelah sendiri rasanya. Jadi, aku putuskan, I’m single but not available. Hahaha.” Rasanya senang sekali bisa bercerita seperti itu kepada orang yang telah lebih dewasa sedikit di bandingkan aku.
                “Yah, rasanya pasti berputar-putar.”
                Aku mengangguk setuju.
                “Aku juga tidak suka di putar-putar. Pusing dan ingin muntah.” Bli seakan hampir muntah lagi.
                Aku masih ingat kejadian waktu Bli muntah gara-gara berputar kencang sekali di permainan anak itu. Lalu, aku tertawa. Kami tertawa.
                “Jadi... di Bali sampai kapan?”
                “Eh, jangan keras-keras main jungkat-jungkitnya. Aku takut jatuh. Eh, kenapa?” aku tidak memperhatikan pertanyaannya tadi.
                “Sampai kapan di Bali?” Dia tidak tampak marah meski aku tak memperhatikannya.
                “Oh, tidak pasti. Mungkin seminggu lagi. Karena 10 hari lagi aku masuk sekolah. Kalau Bli kapan masuk sekolahnya?” Aku bertanya balik. Aku jadi tersadar, kebersamaanku dengan yang lainnya hanya sementara.
                “Sama. Memangnya kamu kelas berapa sih?”
                “Aku kelas 11 IPS.. Bli?”
                Aku naik ke kelas 12 IPS. Hahaha. Ketemunya anak IPS lagi.”
                “Jodoh kali!”
                Aku kaget. Tiba-tiba muncul orang lain di antara kami. Bli Wayang. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi ucapannya tetap saja membuatku kaget.
                Bli Made hanya nyengir, ciri khasnya.
                “Oya, ngomong-ngomong, mana orang tuamu, Jeng? Dari kemarin aku tidak melihat mereka di rumah ini?” Tanya Bli Wayang.
                “Oh, papa-mama masih di Jawa, kerjaannya belum selesai. Besok baru nyusul.”
                “Ohh..”
                “Oya, mana Putu? Kok dari tadi aku nggak lihat dia?” Aku celingukkan.
                “Lagi pergi sama keluarganya.” Jawab Bli Made. Oya, Bli Made kan pacarnya yah. Aku jadi tidak enak dengan Putu karena sudah dekat-dekat dengan Bli Made.
                “Mau kemana?” Tanya Bli Wayang ketika aku berdiri dari jungkat-jungkit.
                “Minum. Haus.” Lalu aku pergi tanpa menoleh. Tidak tahu kenapa, aku seperti sesak napas. Dadaku seperti kosong, sakit. Apa aku masuk angin yah?
***
                “Sudah mainnya?” Tante Rima melihat ke arahku sesaat lalu sibuk dengan kuenya lagi. Aku duduk di dekatnya.
                “Aku haus, tante.”
                “Tuh ada sirup. Udah tante buat di dalam teko. Bawa keluar sekalian yah. Biar yang lainnya juga bisa minum.”
                “Iya tante.” Aku mengambil beberapa gelas dan nampan. Hari ini yang datang mulai sedikit. Rata-rata punya acara dengan keluarganya.
                “Wah, Ajeng tahu aja.”
                Baru saja aku keluar aku sudah di sambut oleh orang-orang yang kehausan. Setelah semua gelas terpakai minum, Bli Made melotot dan bertanya, “Kok Bli engga dapat?”
                Aku tertawa melihat mukanya yang... terpukul. Hahaha. Aku memang tidak menghitung jumlah orang yang datang. Kupikir gelasnya akan cukup. Akhirnya, aku masuk dan mengambil gelas lagi. Tapi, ternyata tadi pagi tante Rima belum sempat mencuci. Jadi, aku keluar dengan tangan kosong. Tidak sepenuhnya kosong sih. Aku memegang gelas bekasku minum tadi.
                “Maaf, bli. Gelasnya habis. Belum nyuci.”
                “Ya sudah, pinjam gelasmu saja.” Bli mengambil gelas di tanganku dan mengambil teko. Cairan berwarna orange masuk ke dalam gelas lalu ke mulutnya. Aku tidak sempat melarangnya dan aku juga.... deg-degan.
***
                “Kau mau kemana?” Tanya Bli Wayang.
                “Pasar Sukawati!” Aku berteriak senang.
                “Hari ini kami semua janjian untuk pergi jalan-jalan. Bli Made menawarkan diri untuk menjadi guide-ku. Aku dengan senang hati menerima yang gratisan. Haha.
                “Memangnya kau mau beli apa? Kulihat kau sudah punya banyak baju Bali.” Tanya Bli Made di samping Bli Wayang.
                “Iya, aku beli bukan untuk aku sendiri kok. Untuk teman-temanku di Jawa.”
                “Ow..oke deh. Ayo kita berangkat.” Bli Made membukakan pintuk mobil untukku dan yang lainnya. Kita pergi menggunakan mobil sewaan. Sayangnya yang pergi hanya sekitar 8 orang saja. Yang lainnya tidak bisa. Tapi itu tidak masalah, kita akan tetap bersenang-senang.
                Di pasar Sukawati aku belanja banyak. Dari baju barong, tas bali, gelang, kalung, kain Bali, dompet, kaos baik untuk laki-laki atau perempuan. Semoga saja seleraku disukai mereka.
                Mobil menjadi sempit dengan belanjaanku. Bli Made sampai geleng-geleng kepala. Tapi, aku hanya tertawa. Aku sepertinya mulai terbiasa dengan mereka. Dan, yang terpenting, aku mulai terbiasa dengan bli Made yang mengolok-olokku. Dan... itulah masalahnya sekarang. Aku telah mendekati lelaki orang.
                Di Kuta, aku bertanya pada Bli Made.
                “Putu Ke mana, Bli? Kok tumben Bli nggak bareng Putu?”
                Bli yang lagi memandangi sunset menoleh.
                “Kok tanya aku?” Dia memandangiku seperti orang binggung.
                “Lalu aku harus tanya siapa dong?” aku ikutan binggung.
                “Tanya saja pada Wayang. Jangan padaku. Pacarnya Putu kan Nyoman, bukan aku.” Bli Made tersenyum.
                “Ohh....” Aku tersipu di pandangi seperti itu. Wajahku sepertinya memerah. Untuk langit mulai gelap sehingga Bli Made tidak bisa melihat rona di wajahku. Entah mengapa, badanku terasa ringan, seperti terbebas dari beban yang selama ini menindihku. Tapi, beban apa?
                “Cemburu?” Aku mengangkat kepalaku secepat kubisa. Kaget. Kenapa Bli Made bilang seperti itu? Tapi, Bli hanya nyengir, khasnya.
                “Hah? Cemburu kenapa?” Aku bertanya dengan polosnya.
                “Pasti kamu pikir Putu pacarku kan, makanya kamu bertanya tentang Putu kepadaku?”
                “Enggak begitu... Bli kan temannya, apa aku nggak boleh menanyakan kabar Putu kepada temannya?” Aku deg-degan.
                “Tapi pertanyaanmu seperti menginterogasiku tahu.”
                “Oh, kalau begitu maaf. Yuk ke sana.” Aku melihat Bli Wayang melambaikan tangannya pada kami dari bibir pantai. Sepertinya ia dan yang lainnya sedang bermain air.
                “Tunggu, Jeng.” Bli menghentikan langkahku.
                “Ya?” Aku menoleh.
                Bli Made diam. Aku memiringkan kepalaku, menunggu ucapannya. Ketika ia tak juga bicara, aku bertanya, “Apa, Bli?”
                “Apa kamu sama sekali nggak..... suka sama aku?” Bicaranya pelan, tapi aku mendengarnya.
                Aku tidak mau menjawabnya, tapi matanya seperti memohon. Jadi aku jawab saja, “Suka...” Sekali lagi mukaku memerah. Semoga Bli tidak mengejekku seperti biasa.
                Benar saja, ia tidak mengatakan apapun, ia hanya memegang tanganku dan menggandengku ke pesisir laut. Aku hanya menunduk memandangi kakiku yang dipenuhi pasir pantai. Lalu, ketika kuberanikan menoleh ke samping, Bli sedang tersenyum. Aku juga melihat bias orange dari matahari yang belum sepenuhnya terbenam. Sekarang, aku bisa mengagumi wajahnya tanpa takut tertbentur status. Aku bersyukur sekali.
                Satu hal lagi yang aku syukuri, Bli Wayang tidak menggodai kami sepanjang perjalanan pulang meskipun aku tahu Bli Wayang sudah mengetahui ‘itu’. Hihihi. Aku tidak bisa berhenti tersenyum.
***
                Esoknya di Pasar Sukawati...
                Hari ini aku minta Bli Made mengantarku dengan motornya ke Pasar Sukawati lagi karena ada teman yang menitip minta di belikan sesuatu. Bli juga bilang ia sedang membutuhkan sesuatu dan ingin mencarinya di sana.
                Sesampainya di Sukawati, kami berdua memaksuki salah satu kios.
                “Bli tadi bilang sedang membutuhkan sesuatu. Apa itu? Barang kali aku bisa membantu Bli mencarinya. Jadi, apa yang Bli mau?” Kurasa aku lumanyan banyak bicara hari ini. Tapi, Bli hanya tersenyum, khasnya.
                “Aku mau...” Bli seperti sedang berpikir keras. “Aku mau kamu.”
                “Oh itu. Bentar aku carikan dulu. Eh? Apa tadi?” aku Kaget. Kalau tadi tidak salah dengar Bli mau apa?
                “Bli mau kamu! Hahaha.” Bli senyum-senyum jenaka. Tentu saja si penjaga kios ikut-ikutan senyum-senyum sendiri.
                Aku yang baru sadar kalau sedang di gombali langsung tertawa dan memukul lengannya perlahan. Mukaku pasti sudah memerah. “Ih, genit banget. Hahaha.”
                Setelah tawaku reda, aku mulai mencari barang titipan temanku. “Jadi, Bli nggak mau beli apa-apa nih?”
                “Enggak. Bli maunya kamu, titik! “
                “Ihh, dasar gombal!”
                “Tapi kamu suka kan di gombali?”
                “Enggak tuh!”
                “Sudah ahh. Jadi beli nggak? Tuh yang punya kios marah.” Jelas sekali Bli Made berbohong. Jelas-jelas pemilik kios sedang menahan tawanya melihat kita berdua.
                “Kamu mau beli apa sih?” Bli menawarkan bantuan. “Kain Bali ya?”
                “Aku mau beli......”
                “Apa?” Matanya melihat-lihat ke sekeliling kios.
                “Aku mau Bli...” Aku dan di pemilik kios cengar-cengir sendiri.
                “Apa? Kalau ngomong yang jelas, dong.” Bli masih sibuk melihat-lihat.
                Kali ini aku menjawab dengan suara lebih keras, “Aku mau Bli...”
                Bli Made menoleh dengan cepat. Mukanya memerah. Si pemilik kios sudah tertawa duluan. Sedangkan aku masih menahan tawaku. Berusaha tidak terjadi apa-apa.
                Melihatku yang memasang wajah datar, Bli berasumsi ia hanya salah dengar, jadi ia berjalan keluar toko dan membuang napas keras-keras. Si pemilik toko makin keras tertawa.
                “Ihh, Bli! Aku bilang ‘Aku mau Bli’...” aku menghampirinya. Bli kaget sekali lagi. Aku tak tahan untuk tidak tertawa. Bli langsung memelukku.
                “Nakal, yah!” Bli tertawa senang. Mungkin dia kaget aku bisa menggombali dia juga. “Cintaku nggak akan berubah meski beda ruang dan waktu!”
                “Hahaha! Percaya deh...”
Semoga, jarak Jawa-Bali tidak bisa mengahalangi hubungan kita yang manis ini...

Tegal, 28 Desember 2011
Pkl. 16.16 WIB

Jumat, 06 Mei 2011

Eternal Love


Aku ‘kan sudah bilang. Aku bukan yang terbaik, aku nggak sempurna. Tapi, kenapa masih melakukan ini semua?
                Aku membuang buket mawar dengan pita putih di tengahnya. Kalau saja tak ada perasaan cinta yang kau berikan dalam buket itu, aku akan senang hati merawatnya. Masalahnya, aku tak mau menerima cintamu. Apa itu cinta? Cinta nggak pernah bisa buat bahagia.
                Setelah menjalani kemoterapi selama berbulan-bulan, aku capek. Aku sadar kok. Aku nggak akan pernah bisa sembuh. Semua ini hanya memakan waktu-waktu terakhirku. Terapi seperti ini hanya akan memperlambat ‘kematian’ku saja. Dan aku hanya bisa menunggu waktu saja.
                Di saat berat seperti ini, kamu masih saja mengangguku. Bertamu ke rumahku, mengirimiku mawar, menelponku setiap saat. Kau pikir aku suka semua itu? Kau pikir aku suka bunga mawar? Sayang sekali, yang kusuka itu bunga melati yang kelak akan selalu ada di atas pembaringan terakhirku. Jadi, kenapa kau tak simpan saja uang mu untuk membelikanku bunga melati ketika aku mati nanti?
                Siang hari memang waktu yang menyenangkan bagiku. Aku suka cahaya matahari dan tak suka kegelapan. Kalau pada malam hari, aku takut ada bayangan hitam yang membawaku pergi.
                Suster Aida sudah memberiku obat rutin. Aku menelannya dengan sungkan. Lalu, aku tiduran di kasur rawat rumah sakit. Bisa di bilang aku sudah hapal dengan semua wangi bantal yang ada di rumah sakit ini saking seringnya di opname. Kali ini saja aku terpaksa di opname (lagi) karena aku sempat pingsan.
                Ketika mataku sudah agak pegal dan napasku panjang dan dalam, ada yang mengetuk pintu. Ehm, mungkin lebih tepatnya sih menggedor. Aku langsung membuka kedua mataku dan melihat gerakan cepat dari pintu.
                “Kamu kenapa, Ris?”
                Angga, cowok yang membuatku angkat tangan menghadapinya. Ngapain sih dia ada di sini? Tunggu dulu, dari mana dia mengetahui aku di rawat di rumah sakit?
                “Kamu sehat ‘kan, Ris?”
                “Aku ‘kan sudah bilang padamu sebelumnya, berulang-ulang : aku ini nggak sempurna, aku bukan yang terbaik. Dan yang terpenting, aku nggak suka padamu. Sekarang, kamu sudah lihatkan, aku sebentar lagi mati. Jadi, lebih baik kamu pergi!”
Setelah dia pergi, baru aku sadar, aku senang akan semua perhatiannya padaku selama ini. Aku menyesal telah memarahinya, lebih-lebih ketika dia mengatakan sesuatu sebelum pergi.
 “Selama ini, aku sayang kamu tulus, Ris. Sungguh aku nggak sekalipun berniat mainin kamu. Apalagi setelah tahu kamu sakit, aku langsung berpikir dan siap merawat kamu seumur hidup aku, Ris. Tapi, kalau nyatanya kamu terganggu dengan kehadiran aku, aku akan pergi. Semoga kamu cepet sembuh ya. Aku akan selalu berdoa untuk kamu...”
Aku cuma bisa menangis di balik bantal dan berteriak dalam hati,’Kenapa penyesalan selalu datang di akhir?’
3 tahun bukan waktu yang lama. Tapi, dalam waktu selama itu, teknologi maju dengan amat cepatnya. Pengobatan herbal juga berkembang pesat. Penyakitku sudah di temukan penawarnya, meski memakan biaya banyak.
Sekarang perkembangan ilmu kedokteran dan di imbangi dengan pengobatan herbal mampu menyembuhkanku. Sekarang, mimpi-mimpi buruk sudah menjauh. Bayangan kematian juga sudah tak ada lagi di setiap mataku. Ternyata, Tuhan masih menginginkan aku hidup. Dia tahu, ada sesuatu yang belum aku selesaikan. Ya, Angga.
Aku datang mencarinya di rumahnya. Semoga saja dia tidak pindah.
Aku memencet bel berkali-kali tapi tak ada jawaban. Aku sempat menyerah sampai akhirnya aku mendengar gerakan di balik pintu. Sesaat kemudian, muncul wajah tegang di baliknya.
Kami berpandangan lama, dan akhirnya aku tergagap, “Ha-hai! Apa kabar?” Aku mengutuki diri sendiri, kenapa yang keluar malah kata-kata formal? Duhh...
Ketika belum juga ada jawaban dari Angga, ibunya keburu keluar dan bertanya, “ Siapa, Ngga?”
“Eh, mah...Kenalin, pacar aku!” Angga sontak merangkulku.
Aku nggak tahu apa arti senyum Angga dan ibunya. Tapi, aku bahagia kok. Aku belum kehilangan Angga...

By : Chien
Tgl 21 April 2011

Luka yang Sama


Yah, ingin aku percaya kata-katamu itu : aku mencintaimu; aku menyayangimu; kau satu-satunya buatku. Tapi itu bullshit! BOHONG! Buktinya kau mencintai orang lain, dan aku bukan yang utama buatmu!
            Hah, aku ingat. Kau juga bilang kau tak punya rasa dengannya. Tapi—kini—setelah semuanya terbongkar, aku mengerti, kau katakan itu hanya untuk menutupinya serapat mungkin. Aku benar, bukan?
            Dan, aku juga ingat. Dia—yang kini selalu bersamamu—pernah mengungkapkan kata-kata yang takkan pernah keluar dari mulutku. Kata-kata yang mungkin jika kau tahu, takkan menbuatmu berpaling dariku hanya untuk gadis seperti dia.
            Tapi, sepertinya aku tak seharusnya bersedih dengan kejadian ini. Karena dengan adanya kejadian ini aku jadi mengerti seperti apa dirimu, bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya terhadapku. Aku harus berterimakasih pada Tuhan.
            Yeah, setidaknya itu yang membuatku sedikit lebih baik, aku merasa tidak benar-benar dibuang.
            Kupejamkan mataku sejenak. Merenungi apa salahku; apa yang belum kuperbuat untuk mempertahankan dirimu. Tapi aku selalu menghentikan itu. Mau bagaimanapun kau bukan lagi untukku.
            Tapi akrinya kau datang kehadapanku. Berusaha terlihat sekeren mungkin, kau katakan ini :
            “Aku ingin memperbaiki segalanya. Aku ingin kembali.”
            Hah, andai kau ingat apa yang telah kau perbuat sebulan yang lalu. Kau tinggalkan aku untuk dia—yang tidak lebih baik dariku. Seharusnya kau masih punya sedikit otak saat kau lakukan itu. Setidakya kau tinggalkan aku untuk seseorang yang—setidaknya sedikit—lebih baik dari padaku!
            Aku yang malu karena itu. Orang sekitarku membicarakanmu dengannya. Katanya dia tak pantas bersaing denganku. Hah, kau tau apa artinya itu? Aku lebih baik darinya!
            Tapi, mungkin kau juga menyadari itu. Makanya kau ingin kembali. Tapi tak semudah itu. Tak mudah buatku kembali pada orang yang sudah menyakitiku, bahkan yang sudah membuangku!
            Seperti dulu—kalau kau masih ingat—saat kau mencoba melakukan pendekatan denganku. Kau tahu butuh waktu berapa lama untuk itu? Tiga bulan. Bukan waktu yang singkat, kau tahu?
            Kini setelah kau sakiti aku, kau ingin kembali. Aku tak tau selanjutnya apa yang akan kau lakukan padaku. Mungkin kau akan ‘menyukaiku’ lagi, dan kemudian ‘membuangku’ lagi.
               Huhh, betapa kejamnya dunia...
            Yah, bagaikan terulang kembali. Kau mencoba mengejarku seperti dulu. Aku tak percaya kau seperti ini. Susah payah hanya untuk kembali pada seseorang yang pernah kau buang. Hanya buang-buang waktu. Dan, jujur saja, aku terganggu dengan itu. Kumohon, berhentilah!
            Mungkin hati nuraniku masih berfungsi dengan sangat baik, atau mungkin juga sudah rusak, sampai-sampai aku mau kembali padamu.
            Seperti anak kecil kau melompat kegirangan dan mengatakan pada setiap orang yang kau temui bahwa ‘kita’ sudah kembali.
            Ingin aku bahagia dengan kenyataan ini, tapi belum sempat aku merasakannya, sampai akhrinya kau lakukan ‘itu’ lagi. Bukan—lebih tepanya—kau buang aku lagi.
            Kali ini bukan untuk gadis kesekian yang menggantikan posisiku, tapi karena lima ratus ribu rupiah yang kau taruhkan dengan teman-temanmu itu!
            Saat aku tau itu, aku berpikir kau bukan manusia.
            “Kau tidak tau betapa sakitnya jatuh kedalam lubang yang sama, dengan orang yang sama, dengan luka yang sama.”
            Kau hanya bisa mengatakan maaf. Kata yang kau pikir selalu bisa membuatku memaafkanmu. Tidak! Tidak sama sekali. Tidak dulu, maupun sekarang!
            Aku benci dirimu yang bodoh. Aku benci dirimu yang plin-plan. Aku benci dirimu yang membuatku lebih bodoh dari seekor keledai!
           

 [Johana Yoe]

Sabtu, 09 April 2011

A HULLAHOP


Aku meletakkan hullahop yang berdiameter sekitar setengah meter itu di lantai. Aku mengambil minum dan meninggalkannya di sana. Sampai aku berpaling dari sana, benda bundar itu setia di sana. Benda itu, milik Ayen.
Aku kembali ke rumah itu setelah sekian lama kutinggalkan.  Aku telah lama mengukir sakit di hati ini selama tinggal di sana. Banyak kenangan pahit yang terkenang, puluhan sakit hati kukecap. Smapai-sampai rasanya aku jadi tak kuat setiap kali mengingatnya satu persatu luka itu. Mungkin terlalu dalam luka itu sampai ketika kini sepuluh tahun setelah itu, aku masih bisa hapal sakitnya.
Aku menyentuh handel pintu yang terasa dingin di kulit. Pikiranku kembali ke masa kecilku.  Setiap aku tidur di sini, makan di sini, mandi di sini dan bermain di sini. Di handel pintu ini aku pernah terbentur.
Lalu langkahku membawaku mengelilingi rumah tua itu tanpa aku minta. Aku menyentuh semua yang bisa kusentuh. Meski berdebu, itu semua menimbulkan sensasi tak terduga. Aku sungguh-sungguh kangen ini semua.
Aku sampai di tempat terakhir yang ingin kukunjungi : Kamar tidurku. Di sana lebih-lebih banyak kenangan menyedihkan yang terasa sampai sekarang. Air mataku, dulu semuanya tertumpah di kasur dan bantal-bantal itu.
Masuk ke rumah ini, seperti kembali ke pusara kesedihan. Tempat dimana seluruh kesedihan berasal. Masuk ke rumah ini sama saja kembali membuka luka lama. Tapi, mau tak mau, semuanya akan terjadi, semua hanya masalah waktu, entah besok atau lusa, artinya semuanya bakal tetap terjadi kan?
Namun, ada satu kenangan indah di situ. Iya, hanya satu. Dan itu pun hanya sekejap. Namun, kamu memberikan kesan mendalam. Dia adalah teman ‘sesaat’ yang selamanya. Maksudnya, dia nggak mudah di lupakan oleh aku. Dimana yah aku bisa bertemu dengannya lagi?
Aku duduk di bibir ranjang kasur tua yang semakin dalam di duduki semakin berdecit ngilu memeberi kesan....seram mungkin?
Saat aku duduk, kakiku menendang sesuatu di bawah kasur. Warnanya coklat kekunigan : hullahup yang sering kumainkan dulu.
Aku mengambilnya dengan bersemangat. Aku mencoba memasukkan tubuhku ke dalam lingkarannya dan mencoba memutarnya. Tapi, aku sepertinya telah lupa cara melakukannya. Akhirnya yang aku lakukan cuma mengelus-elusnya.
Tapi, tiba-tiba gerakanku terhenti. Badanku membeku.
“Ayen? Sebastien? Kau kah itu?” Aku panik sekaligus senang saat aku mendapati ada gerakan-gerakan yang bersuara di dapur. Mungkin dia datang dari pintu belakang yang sempat aku buka tadi.
Aku kesana, tapi tak menemukannya. Mungkin dia kembali kagi ke rumahnya untuk mengambil cemilan. Dia tahu kalau aku suka bercerita panjang lebar dengannya. Jadi, aku menunggunya di sana, sampai fajar bermain petak umpet dan kalah bersuit dengan matahari dan terpaksa jadi penjaganya.
Aku sedih, tapi aku nggak bisa apa-apa. Besok aku ada pertemuan para penulis novel di salah satu perusahaan penerbit. Aku keluar dari rumah itu setelah yakin sudah mengunci semuanya—termasuk pintu belakang meski berat hati.
Aku mengunci pintu depan. Artinya, aku sudah harus kembali ke kehidupanku sekarang. Tadi selama seharian ini aku sudah menjadi Anggun ‘yang dulu’ dan sekarang aku harus kembali berubah ke wujud asalku.
Di depan rumah itu, aku bertemu dengan ibu Ayen.
“Eh, nak! Sini, nak. Ibu pikir kamu sudah pulang sejak siang.” Beliau tampak sangat bahagia. Beliau sangat baik kepadaku.
“Iya, tante. Ini baru mau pulang. Tadi saya iseng masuk ke dalam rumah. Rasanya kangen sekali ya, “ Pikiranku melayang, pandanganku menerawang, “Saya nggak bisa lama-lama, tante. Saya harus pulang. Kapan-kapan saya mampir lagi ya, tante.”
“Iya, kebetulan acara peringatan sepuluh tahunannya Ayen juga baru selesai tadi.  Hati-hati ya, nak Anggun. Jangan sampai kecelakaan seperti Ayen terulang lagi sama Anggun. Tante sayang sama Nak Anggun seperti sayangnya tante sama Ayen.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Tante, Anggun juga sayang sama tante sama seperti sayangnya Anggun ke orang tua Anggun, kok.”
“Oh ya, minggu depan adalah hari peringatan kematian orang tuamu kan?”
“Iya. Tante datang kan?”
“Iya. Nanti tante bawa makanan kesukaanmu.”

Iya, benar. Aku baru sadar... Kini, kenangan indah satu-satunya telah benar-benar tiada. Ayen tidak ada lagi di sampingku. Selama ini, aku selalu hidup dalam kepercayaan bahwa Ayen akan kembali padaku, tempatnya berpulang di dunia ini. Tapi, aku salah, dia telah berpulang ke rumah yang kekal abadi, dimana tiada tangis dan susah.
Sekarang, bagaimana bisa aku berdiri tanpa keyakinan itu lagi setelah aku tersadar?

By : Yolanda Yoe

Kamis, 07 April 2011

Aarrgghh...It's Shoking day!


“Arrgghh! Kenapa nggak ada yang ingat ulang tahunku??? Huhuhu...” Aku berteriak membuyarkan keasyikan bergosip teman-temanku.
                “Ada apa sih? Gituan kok di pikirin?” Reko menjawab acuh tak acuh.
                Aku sakit hati mendengar jawabannya.
                “Ihh, nyebelin sih Reko?” Aku merajuk dengan nada manja sambil menggeplak bahunya kencang-kencang. Memang makhluk satu ini yang nggak ketolongan nyebelinnya.
                “Aku ingat kok, Nda...” Riris menjawab dengan nada lemah lembutnya. Biasanya dia anak yang paling diam di kelas. Untuk membuat dia berada diantara kita yang senang bergosip saja sudah menjadi mukjizat yang harus di rayakan tujuh hari sembilan malam, apalagi sekarang dia mau angkat bicara dan dia mengingat ulang tahunku! Aihh, senangnya hati!
                “Really? Aaaahhh, Riris memang baik. Nggak kaya anak-anak yang lain. Huft, aku benci kalian!” Aku memang mengatakan ‘benci’,  tapi bagi mereka yang sudah kenal aku, pasti mereka tahu apa maksudnya. Maksudnya aku ingin mereka mereka memahami perasaanku, aku ingin mereka ingat ulang tahun saja. Itu saja. Simpel bukan?
                “Ihh, Nda kok gitu sih? Kaya anak kecil tahu nggak?” Sissy menjawab dengan agak ketus.
                Aku nggak mau ambil pusing.
                Lalu Riris melanjutkan tentunya dengan nada yang lemah lembut khasnya, “ Iya, aku inget kok, Nda. Tanggal 30 Februari ‘kan?”
                Aku speechless.....


Dua hari lagi alias lusa alias hari Rabu besok adalah hari yang spesial bagi aku. Tapi sepertinya nggak buat anak-anak yang lain. Huhuhu. Aku sedih banget.
Aku pulang sekolah sambil bawa hati aku yang lagi dongkol abis. Mereka bisa-bisanya nggak tahu hari ulang tahunku. Bahkan saat aku ngambek tadi pagi, mereka juga nggak berusaha minta maaf atau minimal tanya kapan sebenarnya ulang tahunku.
“Aku pulang, mah.” Aku mencari-cari mamah. Saat aku masuk ke dapur, aku melihat mamah sedang mencicipi sesuatu yang sedang di masaknya.
“Mah? Tumben mamah masak?” Aku berjalan ke sebelahnya.
“Memangnya mamah nggak boleh masak?” Mamah menjawab sambil menatapku sepintas.
“Ya, eh, nggak gitu...” Aku takut menyinggung perasaan mamah.
“Biasanya ‘kan mamah selalu main ke rumah temen atau temen mamah yang main ke sini. Ada apa, mah? Apa Tante Sopha mau main ke sini lagi?” Aku bertanya dengan nada yang tenang sebisa mungkin. Mana bisa aku tenang kalau Tante Sopha akan datang?
Tante Sopha memang tidak datang, tapi, sebagai gantinya anaknya yang akan datang untuk mengantarkan barang pesanan mamah yaitu Vaccum Cleaner yang di pesan di toko milik Tante Sopha.
Huft, aku buru-buru menyusun ulang rencanaku sore ini. Jangan sampai aku bertemu atau minimal bertegur sapa dengan anaknya itu. Aku tidak kenal dengan anak Tante Sopha. Tapi, aku memegang prinsip: Like Mother Like Son. Buktinya aku.
Mamah adalah anak semata wayang dari kakek dan nenek. Jadi ibu sangat di manja dan ibu tipe orang yang semua keinginannya harus di turuti. Yah, nggak beda jauh sama aku lah. Jadi, kesimpulannya, menurutku anaknya pasti nggak beda-beda jauh dari tante Sopha.
Aku langsung mengambil tasku sembarangan. Entah apa yang aku bawa di dalam tas itu. Aku langsung naik ke atas sepedaku dan bermaksud menggayuhnya ke rumah Reko. Yah, aku memang sedang sebal dengannya, tapi, aku lebih baik ke sana ketimbang harus berdiam di rumah. Apalagi dengan tamu yang ‘mana tahan’.
Aku masuk ke rumah Reko dan di sambut oleh Ethan, angjing peliharaan Reko. Aku masuk ke ruang keluarga, tempat Ibu Reko biasa menonton televisi. Tapi, di sana aku tidak hanya mendapati Ibu Reko, tapi juga Riris. Ada apa nih?
Aku nggak tahu apa yang terjadi sama hati aku. Tapi aku ngerasa ada yang aneh waktu lihat Riris sama Ibunya Reko akrab banget. Aduh, Tuhan....Ada apa ini?
Aku menghancurkan rencanaku sendiri. Aku langsung pulang begitu melihar Riris di rumah Reko dan pulang ke rumah. Sekarang, persetan aku akan bertemu dengan anaknya Tante Sopha atau tidak. Aku Cuma ingin bertemu dengan mamah dan bercerita, dan menanyakan, ada apa dengan aku sebenarnya?
Begitu sampai di rumah dengan sepeda yang kukayuh cepat, aku langsung mendobrak pintu dan berlari ke arah mamah.
“Mamah! Huhuhuhu.”
“Hush, nggak sopan ada tamu kok mewek begini?”
“Masa’ Riris tadi ada di rumahnya reko. Trus-trus-trus dia kelihatan akrab gitu sama ibunya. Ihh, mereka kaya orang pacaran aja deh.” Aku terus nyerocos tanpa memedulikan teguran mamah.
Lalu mamah sepertinya berusaha bersikap bijaksana,” Ya mungkin mereka memang beneran pacaran kali... Kenapa kamunya yang ribut begitu?”
“Nah, itu dia, mah!” Mamah kaget dengan suaraku yang keras,” Kenapa yah aku ngerasa aneh waktu ngelihat mereka berdua sedekat itu ya?”
“Hahaha. Ya itu karena kamu biasanya lihat mereka sebagai temen. Tapi, barusan kamu lihat mereka sebagai pasangan. Orang itu kelihatan beda waktu sama temen atau pacar. Gitu...” Mamah usai mengungkapkan teorinya.
“Ohh, gitu ya, mah?”
“Iya...”
“Iya juga, yah. Selama ini ‘kan kita selalu main sama-sama. Jadi, begitu liat mereka pacaran, aku ngerasa beda aja. Hehehe.” Aku mulai tenang. Setidaknya persahabatan kami tidak akan bubar gitu aja.
“Makanya, kamu cari pacar, dong. Segede gini masih kaya anak kecil gitu...” Mamah menyentuh hidungku dengan sayang.
“Hahaha. Pacar? Nanti-nanti, deh!” Aku mengibaskan tanganku di depan wajah. Aku masih berpikir kalau urusan cinta itu ribet.
Aku baru merasa capek setelah tadi mengayuh sepeda kencang-kencang dari rumah Reko dan nyerocos panjang –lebar-tinggi-pendek sama mamah. Aku merasa haus dan kakiku pegal. Aku duduk di sofa ruang keluarga dan meminum jus jambu yang ada di meja. Isinya tinggal setengah.
Aku memejamkan mataku dan tiba-tba berpikir, jus jambu itu punya siapa yah?
“Ha-hai!”
Astaga! Mungkin dia anaknya Tante Sopha.
“Mamaaahhh!” Cowok itu kaget. Mamah berlari dari ruang tamu setelah menutup pintu waktu aku sampe di rumah.
“Ada apa, sayang?” Mamah panik.
Aku menunjuk ke arah cowok itu. Sepertinya dia mendengar pembicaraanku dengan mamah tadi. Ya ampun! Malu sekali.
Lalu, apa itu? Dia menatapku intens. Sedikit berkedip. Apa dia nggak bisa memejamkan matanya ya? Tapi, kenapa dia senyum-senyum gitu? Uh-oh, senyumnya...
“Oh, si Milo...” Aku melotot dengan nada bicara mamah yang tenang,” dia baru balik dari German loh.” Mamah seperti sedang promosi.
Dia? Kenapa mamah bicara seperti teman lama? Oh, astaga! Sepertinya kejutan hari ini tiada hentinya, Tuhan...
“Milo?”
“Aku kangen kamu, gendut!!!” Cowok yang bernama Milo itu tersenyum manis sekali. Dia, teman lama yang paling baik.

By : Yolanda Yoe

Sebuah Pinokio yang Tak Bernyawa


Aku merasa malu dengan diriku sendiri, dengan kamu dan dengan perasaan ini. Aku malu, karena seakan-akan aku terlalu mengharapkan cinta itu, menginginkan asa itu. Kenapa? Kenapa aku harus begini? Kenapa aku dulu begitu? Kenapa kamu buat aku seperti ini?
                Pikiranku selalu tidak sampai tiap kali aku berpikir tentang itu. Aku selalu tak bisa menahan yang meluap di dalam aku, entah sakit, entah cinta atau bahkan benci saat aku melihat kamu. Apa kamu rasakan itu juga?
                Katakan padaku. Katakan kalau kau cinta aku, tapi jangan kalau yang terjadi adalah terbalik.
                Yah, dunia memang kini serba terbalik. Banyak cowok bertingkah bak cewek dan cewek sok tomboi. Dan, saat kelak aku telah BISA melupakanmu, kamu pasti akan meminta-minta cintaku! Akan ku buat begitu!
                Tapi, saat ini...tidak! Aku tak bisa melepas semua yang terjadi diantara kita selama ini. Aku mau mengenangmu sebentar lagi. Maaf kalau kamu dengan dirinya—gadis penggantiku merasa terganggu, tapi please, izinkan aku memiliki kamu dalam kenangan itu agar seakan aku hidup bahagia sampai detik ini. Bukan masalah aku akan sakit lagi nantinya. Aku Cuma butuh kamu sekarang meski hanya sepenggal memori. Setidaknya sampai, sampai aku benar-benar merasa bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri dan bukan dengan ilusi.
                Aku janji, setelah aku puas dengan segala euphoria-ku, aku akan membiarkanmu lepas walau sebenarnya aku memang nggak pernah menangkarmu dalam sangkar emas. Saat itu aku akan bisa tersenyum tulus, tulus ke dalam matamu.
                Tapi, ada apa ini??? Kenapa kamu plin-plan dengan perasaanmu? Bukankah aku sudah relakan semua? Tapi, kenapa kamu seakan memberikan asa? Kau pikir aku akan senang dengan semua itu? Aku sakit... Sakit dengan kamu yang mendorongku ke lorong waktu dan membawaku kembali ke euphoria indah bersamamu. Lalu, aku mulai bermimpi indah lagi. Aku akan menari-menari dalam indahnya khayalan sendiri tanpamu! Kamu Cuma kasih asa semu bagiku. Perlahan aku tersadar, aku berada dalam dimensi lain. Dimensi cinta yang tak bertepuk. Cinta yang sepihak, cinta yang tak terbalas. Agape!
                Aku bukan boneka kayu permainanmu. Pinokio saja bisa bertindak sesukanya, tapi kenapa aku harus bahagia dan menangis sesuai kehendakmu permainkan aku? Aku membangun pembatas dunia luar dan duniaku sendiri agar aku tidak akan pernah bisa jatuh di lubang yang sama untuk kedua kali, ketiga kali dan kesekiannya.
Aku selalu bisa menjadi gadis yang ‘unreachable’ sebelumnya. Sebelum aku terpaku hanya kepadamu. Tapi, seketika aku luluh dengan senyummu. Tapi, kamu keraskan lagi dengan dinginnya tatapanmu. Kamu kenapa? Aku terlalu tidak sempurna bagimu? Suka, suka, suka... Tapi aku tidak bisa hidup hanya dengan itu. Mungkin aku benar-benar sebuah pinokio yang tak bernyawa bagimu.

By : Yolanda Yoe